Adapun kontruksi perkara yang menjerat dua tersangka itu dimulai saat Pertamina membeli LNG dari Corpus Christi Liquefaction, anak perusahaan dari Cheniere Energy Inc – perusahan Amerika Serikat (AS) yang terdaftar di bursa New York.
Pembelian impor LNG dilakukan dengan penandatangan kontrak pembelian pada 2013 dan 2014, yang selanjutnya kedua kontrak digabungkan menjadi satu kontrak pada 2015.
Jangka waktu kontrak pembelian selama 20 tahun, pengiriman dimulai dari 2019-2039, dengan nilai total kontrak sekitar kurang lebih US$12 miliar, tergantung harga gas pada saat itu hingga tahun berjalan.
Hari Karyuliarto dan Yenni Andayani diduga memberikan persetujuan pengadaan impor LNG tanpa adanya pedoman pengadaan; memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi dan analisa secara teknis dan ekonomi.
Selain itu, pembelian LNG tersebut juga tanpa adanya back to back kontrak di Indonesia atau dengan pihak lain sehingga LNG yang diimpor tersebut tidak punya kepastian pembeli dan pemakainya.
"Faktanya LNG yang diimpor tersebut tidak pernah masuk ke Indonesia hingga saat ini, dan harganya lebih mahal dari pada produk gas di Indonesia," ujarnya.
"Kemudian diduga bahwa atas pembelian LNG ini tanpa adanya rekomendasi atau izin dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral."
Asep mengatakan kebijakan impor LNG harus memiliki penetapan akan kebutuhan impor dari Mentri ESDM dan rekomendasi sebagai syarat impor.
Asep menggarisbawahi rekomendasi ini penting untuk menjaga iklim bisnis minyak dan gas di dalam negeri.
Hal ini terjadi karena saat ini Indonesia juga sedang mengembangkan daerah atau wilayah yang mempunyai potensi gas dapat segera diproduksi, agar dapat menghasilkan devisa dan penerimaan negara seperti Masela, Andaman, Teluk Bintuni dan pengembangan beberapa blok gas di Kalimantan.
Selain itu, Hari Karyuliarto dan Yenni Andayani juga diduga dengan sengaja melakukan pembelian impor LNG tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan komisaris.
Padahal, pembelian impor LNG adalah kontrak jangka panjang selama 20 tahun dan bukan kegiatan operasional rutin dan dengan nilai kontrak material.
Penyidik antirasuah juga menemukan dugaan pemalsuan dokumen persetujuan direksi; kemudian tidak ada pelaporan dokumen persetujuan direksi kepada komisaris yang merupakan kewajiban direksi sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Pertamina; dengan sengaja tidak melaporkan ke komisaris baik rencana perjalanan dinas maupun perjalan dinas yang sudah selesai dari AS untuk penandatangan LNG SPA Train 2 Corpus Christi.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Selain tersangka yang ditahan hari ini, KPK juga sebelumnya sudah menetapkan bekas Direktur Utama Pertamina 2009-2014 Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan sebagai tersangka.
Mahkamah Agung (MA) memperberat vonis Karen menjadi 13 tahun penjara. Hal ini tertuang dalam putusan vonis kasasi.
Selain itu, Majelis Hakim Kasasi juga menjatuhkan denda Rp650 juta rupiah subsider enam bulan penjara.
(dov/naw)


































