Logo Bloomberg Technoz

Pada kuartal kedua tahun ini, Saldo Bersih Tertimbang (SBT) hanya tercatat sebesar 85,22%, lebih rendah dibanding kuartal II-2024 sebesar 89,11%. Namun, capaian kuartal kedua itu lebih baik dibanding kuartal pertama tahun ini yang bahkan cuma 55,07%, terendah sejak III-2021 ketika ekonomi terpuruk akibat wabah Covid-19.

Hasil survei juga mendapati, kemungkinan pada kuartal III ini laju kredit kembali melambat dengan SBT diprakirakan sebesar 81,71%, lebih rendah dibanding periode sebelumnya. 

Kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi masih jadi prioritas utama penyaluran pembiayaan oleh bank, berdasarkan jenis penggunaan. Untuk jenis kredit konsumsi, penyaluran KPR/KPR diperkirakan masih jadi fokus utama perbankan, diikuti oleh kredit multiguna dan kredit tanpa agunan. 

"Berdasarkan sektor, penyaluran kredit baru pada kuartal III diperkirakan terbesar pada sektor industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan eceran serta sektor perantara keuangan," jelas BI dalam laporan survei tersebut.

Dengan kembali melambatnya laju kredit pada kuartal ini, secara keseluruhan tahun 2025 kinerja pertumbuhan kredit diperkirakan lebih rendah ketimbang tahun lalu, dengan SBT 94,28% dibandingkan 95,74% pada tahun 2024.

Beberapa hal yang mempengaruhi kinerja kredit tahun ini menurut Bank Indonesia dipengaruhi oleh prospek kondisi ekonomi, kebijakan suku bunga acuan serta risiko dalam penyaluran kredit.

Bankir berhati-hati

Kelesuan permintaan dalam ekonomi domestik yang ditandai dengan belanja rumahtangga yang lemah, penjualan ritel turun, ketika aktivitas manufaktur telah mencatat kontraksi dalam tiga bulan beruntun, mempengaruhi derajat kehati-hatian para bankir dalam menggeber laju pembiayaan.

Pada kuartal II lalu, seperti ditunjukkan oleh laporan survei yang sama, Indeks Lending Standard tercatat positif 0,08%, mencerminkan kebijakan pemberian kredit yang cenderung ketat dari perbankan.

Lending standard yang ketat itu terutama untuk jenis kredit UMKM, kredit modal kerja dan KPR juga KPA. "Beberapa aspek kebijakan penyaluran kredit yang terindikasi lebih berhati-hati antara lain pada aspek plafon kredit, premi kredit berisiko, agunan serta persyaratan administrasi," demikian hasil survei melaporkan.

Dalam empat tahun terakhir, ILS tertinggi tercatat pada II-2024 silam dengan angka positif 2,30.

Untuk kuartal ini, survei memperkirakan, kebijakan penyaluran kredit oleh perbankan masih akan seketat periode sebelumnya meski ILS sedikit turun menjadi 0,02.

"Kebijakan standar penyaluran kredit yang lebih selektif terjadi pada jenis kredit modal kerja, Kredit UMKM, dan kredit investasi. Sementara standar penyaluran kredit konsumsi juga KPR/KPA relatif lebih longgar," jelas BI.

Lending standard yang lebih ketat antara lain terjadi pada aspek premi kredit berisiko, suku bunga, juga jangka waktu kredit. Sementara kebijakan penyaluran kredit yang lebih longgar terdapat pada aspek plafon kredit.

Menumpuk di SBN

Laju kredit yang kemungkinan masih akan lesu pada kuartal ketiga tahun ini dan keseluruhan tahun 2025, bahkan terjadi ketika pertumbuhan DPK membaik dibanding tahun lalu.

Penghimpunan dana masyarakat oleh bank pada kuartal III diperkirakan melaju lebih kencang dengan SBT 88,22%, terutama disumbang oleh produk giro. Sementara produk tabungan dan deposito diprediksi masih melemah pertumbuhannya.

Untuk keseluruhan 2025 ini, laju DPK diperkirakan lebih baik dibanding tahun lalu. 

Laju kredit yang masih lemas meski ada potensi pertumbuhan lebih cepat DPK menjadi perhatian otoritas moneter yang menilai bank seharusnya lebih giat menyalurkan kredit alih-alih menumpuk dana di instrumen portofolio.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur bulanan Juli, beberapa waktu lalu, mengatakan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bank sentral sudah menurunkan BI rate dan masih membuka ruang penurunan lebih lanjut ke depan.

Selain itu, BI juga menggelontorkan tambahan likuiditas melalui operasi moneter dengan Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM). Kebijakan ini telah memberikan menyuntikkan likuiditas ke perbankan sebesar Rp376 triliun yang disalurkan pada sektor prioritas.

“Jadi BI sangat all out untuk mendorong pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi bersama dengan pemerintah. Pertanyaannya, kenapa suku bunga bank belum turun? Kenapa kredit juga pertumbuhan bulan lalu turun?” kata Gubernur Perry.

Menurut analisis BI persoalan perbankan saat ini bukanlah masalah likuiditas. Buktinya, indikator alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sangat tinggi mencapai 27%.

“Ini masalah preferensi, bank lebih suka menaruh dana di surat berharga dan terlalu berhati-hati dalam mendorong kredit. Jadi ekses likuiditas ditaruh pada surat berharga ketimbang dorong kredit,” tandas Perry, yang tak menampik dari sisi animo permintaan kredit dari nasabah juga belum tinggi.

Melansir data terakhir yang dilansir oleh Kementerian Keuangan, posisi kepemilikan perbankan di instrumen Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp1.289,19 triliun, setara dengan 20,22% dari outstanding SBN di pasar per 22 Juli 2027.

Level kepemilikan perbankan di SBN itu juga menjadi yang tertinggi dalam setahun terakhir atau sejak 10 Juli 2024 silam.

Ekonom LPEM Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai, pilihan perbankan yang cenderung menempatkan dana di SBN alih-alih menyalurkannya sebagai kredit ke sektor riil, sukar dilepaskan dari situasi kelesuan ekonomi domestik saat ini.

"Bank menyimpan di SBN karena lebih pasti dan karena kredit sektoral masih relatif belum produktif," kata Riefky.

Hampir seluruh sektor mengalami penurunan produktivitas dalam beberapa tahun terakhir. Riefky berpendapat, ada banyak sektor yang tidak mengajukan kredit ke perbankan. Sekalipun ada, kemungkinan performa industri itu dinilai tidak mumpuni untuk diberikan kredit.

"Ini kemudian yang menyebabkan bank berhitung. Daripada menyalurkan kredit yang imbal hasilnya nggak terlalu besar, malah sekarang imbal hasil lebih besar di SBN. Inilah yang membuat bank, dari perspektif bisnis lebih menguntungkan menaruh uangnya di SBN," kata Riefky.

Tingkat imbal hasil SBN sepanjang tahun ini sebenarnya sudah banyak turun, mencerminkan lonjakan harga obligasi pemerintah tersebut.

Yield 2Y misalnya, seperti dicatat oleh Bloomberg, pada akhir tahun lalu masih berada di kisaran 6,939%. Namun, pada perdagangan terakhir, posisinya sudah di level 5,735%.

Begitu juga tenor 5Y dan 10Y, kini posisi nya di level 6,038% dan 6,480%. Padahal akhir tahun lalu, levelnya masih 6,999% dan 7,011%.

Adapun untuk tenor panjang 15Y dan 30Y, pada akhir tahun lalu masih berada di 7,008%, dan 7,079%. Kemarin, levelnya sudah di 6,753% dan 6,958%.

Bila situasi ini terus berlanjut, roda ekonomi bisa terus seret mengingat posisi kredit perbankan yang berfungsi penting sebagai 'oli perekonomian'.

-- dengan bantuan laporan dari Lavinda.

(rui/roy)

No more pages