Logo Bloomberg Technoz

Menurut Calon Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal AKPI untuk periode 2025–2028, Martin Patrick Nagel dan Harvardy Muhammad Iqbal dalam wawancaranya dengan Bloomberg Technoz, mereka menjelaskan secara teknis bagaimana PKPU bekerja dan siapa saja pihak yang terlibat. 

“PKPU dapat dimohonkan oleh kreditor terhadap debitor yang memiliki setidaknya dua kreditor yang mana salah satu kreditor tersebut memiliki tagihan sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. PKPU juga dapat diajukan sendiri oleh debitor secara volunteer. Tujuan dari PKPU adalah agar tercapai suatu kesepakatan skema penyelesaian utang debitor terhadap kreditor-kreditornya, yang mana kesepakatan tersebut akan diratifikasi dalam suatu putusan pengadilan. Pihak yang terlibat adalah: Kreditor Pemohon, Kreditor Lain, Debitor, Pengurus, Hakim Pengawas, Majelis Hakim, serta Advokat/kuasa hukum dari masing-masing pihak Kreditor Pemohon, Kreditor Lain dan Debitor, serta keterlibatan ahli apabila diperlukan” jelas Martin Patrick Nagel

Sementara itu, terkait alasan sebuah perusahaan memilih PKPU dibandingkan kepailitan, mereka menambahkan, “Perusahaan biasanya memilih proses PKPU dibanding kepailitan karena PKPU memberi kesempatan untuk restrukturisasi utang dan penyelamatan perusahaan, sementara kepailitan lebih berorientasi pada pemberesan aset, ketika perusahaan sudah tidak dapat dilanjutkan lagi usahanya atau tidak dapat diselamatkan.” tambah Harvardy Muhammad Iqbal

PKPU: Menjembatani Harapan dan Realita Finansial

Secara sekilas, PKPU terlihat sebagai ‘pelindung’ sementara dari ancaman pailit. Namun,  di balik fungsinya sebagai mekanisme hukum preventif, PKPU kerap menjadi satu-satunya jalur rekonsiliasi kepentingan antara perusahaan yang tengah mengalami kesulitan keuangan dan para kreditor yang menuntut kepastian pembayaran.

Yang membedakan PKPU dari kepailitan adalah orientasinya yang rehabilitatif, bukan terminative. Melalui pengajuan PKPU—yang bisa diajukan baik oleh debitur maupun kreditor—pengadilan akan menunjuk pengurus untuk mengawasi dan mengelola proses negosiasi. Selama masa PKPU, upaya penagihan individual oleh kreditur dihentikan sementara (stay period), menciptakan ruang waktu yang kondusif bagi perusahaan untuk menyusun dan mengajukan proposal perdamaian yang masuk akal dan dapat diterima secara bisnis. Proposal ini kemudian akan diputuskan melalui mekanisme voting oleh para kreditur dalam rapat verifikasi dan pemungutan suara sesuai undang-undang.

Hal inilah yang membuat PKPU dianggap sebagai bentuk mediasi legal yang memungkinkan semua pihak mencapai solusi win-win—asal dijalankan secara profesional dan transparan.

(Foto: Martin Patrick Nagel, Pendiri FKNK Law Firm, serta Kurator dan Pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

Menanggapi pertanyaan tentang efektivitas PKPU dalam menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan total, Pendiri FKNK Law Firm, Martin Patrick Nagel yang merupakan Advokat, Pengurus PKPU dan Kurator Kepailitan, menjelaskan bahwa, “Sudah banyak preseden bahwa PKPU berhasil menyelamatkan perusahaan dari kepailitan. Beberapa contoh, PT PAN Brothers Tbk sejak tahun 2024, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sejak tahun 2022, PT Bumi Resources Tbk sejak tahun 2017 dan lain sebagainya.” Pernyataan ini menegaskan bahwa mekanisme PKPU bukan hanya bersifat teoritis, melainkan telah terbukti secara praktik mampu menghindarkan perusahaan-perusahaan dari kebangkrutan.

Lebih lanjut, saat ditanya soal indikator bahwa proposal perdamaian dalam PKPU memiliki peluang disetujui oleh kreditor, Martin Patrick Nagel mengungkapkan, “Proposal perdamaian dalam PKPU memiliki peluang tinggi untuk disetujui oleh kreditor jika antara lain menawarkan skema pembayaran utang yang realistis dan terukur, adanya dukungan dari kreditor besar/utama (anchor creditors). Tim restrukturisasi yang dibentuk, konsultan keuangan, dan pengurus PKPU yang kompeten dapat bersama-sama bekerjasama menyusun proposal yang kredibel dan profesional.” Lanjut Harvardy “Ini menunjukkan bahwa keberhasilan PKPU sangat bergantung pada kualitas proposal, dukungan strategis dari pihak-pihak utama, serta kapasitas tim yang menanganinya”.

Di Balik Proses PKPU: Peran Kurator danStrategis Pengurus dalam Menjaga Integritas Proses

Di balik kompleksitas, proses PKPU, terdapat figur penting yang memainkan peran sentral dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan debitor dan kreditor: Pengurus PKPU. Meskipun sering dibandingkan dengan kurator dalam proses kepailitan, peran Pengurus PKPU memiliki dimensi yang lebih mediatif dan fasilitatif. Pengurus PKPU bertugas mendampingi debitor selama masa PKPU, memastikan seluruh proses negosiasi utang berlangsung, secara netral, transparan dan adil, sesuai hukum. Dalam konteks ini, Pengurus PKPU tidak hanya bertindak sebagai pengawas, tetapi juga penghubung antara debitor dan para kreditor dalam menyusun, menyampaikan, dan memfinalisasi proposal perdamaian.

Secara struktural, Pengurus PKPU diangkat oleh pengadilan niaga dan melaporkan kegiatannya ke Hakim Pengawas. Mereka memiliki mandat untuk melakukan verifikasi tagihan yang diajukan oleh kreditor, menyusun daftar kreditor dan klasifikasi tagihannya, membantu untuk membuat proposal perdamaian, serta mengkomunikasikan proposal perdamaiannya kepada seluruh kreditur, dan memastikan voting utang proposal perdamaian dilakukan secara sah dan akuntabel.

Apa kualifikasi bagi seseorang untuk bisa menjadi pengurus PKPU?

(Foto: Harvardy Muhammad Iqbal, Advokat yang juga Pengurus PKPU dan Kurator Kepailitan, serta Likuidator)

 

Advokat yang juga Pengurus PKPU dan Kurator Kepailitan, serta Likuidator, Harvardy Muhammad Iqbal menjelaskan kualifikasi yang wajib dimiliki seseorang untuk bisa menjadi pengurus PKPU di Indonesia. Ia menegaskan bahwa, “Untuk dapat menjadi Pengurus PKPU dalam proses PKPU di Indonesia, seseorang harus memenuhi kualifikasi formal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Warga Negara Indonesia, telah mengikuti dan lulus dari pendidikan dan ujian profesi Kurator dan Pengurus PKPU yang diselenggarakan oleh organisasi kurator yang diakui Pemerintah, serta tercatat dalam daftar resmi kurator/pengurus yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Kementerian Hukum Republik Indonesia, yang masih berlaku jangka waktu keputusannya.”

Lebih lanjut, Harvardy juga menyoroti pentingnya menjaga kepercayaan selama proses PKPU berlangsung. Ia menyampaikan bahwa, “Menjaga kepercayaan semua pihak (kreditor, debitor, pengadilan, dan publik) selama proses PKPU adalah tugas krusial bagi Pengurus PKPU. Pengurus PKPU tidak boleh memiliki conflict of interest terhadap kreditor maupun debitor. Pengurus PKPU harus independen dan harus menunjukkan ketidakberpihakan kepada debitor ataupun kreditor. Kepercayaan dalam PKPU dibangun lewat integritas, transparansi, komunikasi aktif, dan profesionalisme yang dilakukan oleh Pengurus PKPU.” Penjelasan ini menegaskan bahwa peran pengurus bukan hanya administratif, melainkan juga etis dan strategis dalam menciptakan ekosistem restrukturisasi yang sehat dan dipercaya semua pihak.

Tantangan dalam Proses PKPU

Meski terdengar ideal, implementasi PKPU kerap menghadapi tantangan struktural dan dinamika kepentingan yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah krisis kepercayaan antar pihak. Dalam banyak kasus, proses negosiasi gagal karena adanya mutual distrust, dimana kreditor meragukan komitmen dan kapasitas debitur untuk pulih, sementara debitor melihat kreditor hanya mengejar pembayaran tanpa solusi jangka panjang. Ketegangan ini bisa semakin tajam bila muncul dugaan konflik kepentingan, khususnya bila Pengurus PKPU dianggap tidak netral atau memiliki relasi dengan salah satu pihak. 

Selain itu, proses PKPU yang tidak dirancang secara matang justru dapat berubah menjadi jebakan prosedural, di mana waktu negosiasi dimanfaatkan bukan untuk restrukturisasi yang sungguh-sungguh, melainkan sebagai taktik untuk menghindari eksekusi atau memperlambat proses kepailitan. Hal ini tidak hanya menghambat pemulihan bisnis, tetapi juga merugikan para kreditor yang beriktikad baik.

Tekanan eksternal seperti sorotan media, kepentingan politis, atau sensitivitas sistemik (terutama jika menyangkut korporasi besar dan padat karya) turut memperumit jalannya proses. Dalam konteks seperti ini, integritas pengurus, kreditor, dan debitor menjadi titik krusial yang menentukan apakah PKPU akan menjadi solusi atau sekadar ruang tunggu menuju kebangkrutan.

Apa saja kendala paling umum yang membuat PKPU gagal?

Dalam wawancara dengan Bloomberg Technoz, Martin Patrick Nagel dan Harvardy Muhammad Iqbal juga memaparkan sejumlah tantangan yang menyebabkan proses PKPU bisa gagal.

Keduanya menyatakan bahwa, “Gagalnya PKPU umumnya terjadi karena rencana perdamaian tidak disetujui oleh kreditor atau tidak dijalankan dengan baik, sehingga perusahaan masuk ke tahap kepailitan. Terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala PKPU gagal, antara lain Proposal Perdamaian tidak rasional atau tidak realistis tanpa melihat kondisi dan future projection, komunikasi yang buruk antara kreditor, debitor dan Pengurus PKPU sehingga menimbulkan berbagai resistensi, kurangnya dukungan dari kreditor kunci (anchor creditor) sehingga menyudutkan posisi debitor untuk dapat memberikan proposal perdamaian yang dapat diterima oleh mayoritas kreditor lainnya, debitor tidak kooperatif, dan lain sebagainya.” Penjelasan ini menekankan bahwa keberhasilan PKPU sangat bergantung pada komunikasi yang terbuka, dukungan strategis, dan itikad baik dari semua pihak yang terlibat.

Terkait bagaimana sistem pengawasan dan regulasi menjamin bahwa proses PKPU tetap berada dalam koridor hukum dan keadilan, mereka menambahkan bahwa, “Dalam proses PKPU, terdapat Hakim Pengawas yang diangkat Pengadilan untuk mengawasi tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Pengurus PKPU. Hakim Pengawas memiliki tugas mengawasi seluruh proses PKPU.” Dengan adanya peran Hakim Pengawas ini, sistem PKPU di Indonesia telah dirancang untuk tetap menjaga integritas, akuntabilitas, serta memastikan bahwa semua tahapan berlangsung secara adil dan sesuai hukum yang berlaku.

Profesionalisme dan Etika: Pilar Utama Jalannya PKPU

Dalam situasi krisis keuangan, profesionalisme dan integritas bukan lagi pilihan—melainkan kebutuhan mutlak. Pengurus PKPU, maupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, wajib memegang prinsip independensi, etika profesional, dan kepatuhan hukum. Pengurus PKPU memikul tanggung jawab ganda: melindungi hak-hak kreditor secara proporsional, sekaligus memberikan ruang yang adil bagi debitor untuk merestrukturisasi kewajibannya. Pelanggaran terhadap etika profesi atau sikap memihak bukan hanya mencederai proses hukum, tetapi juga berpotensi menciptakan systemic risk dalam dunia usaha, terutama jika proses PKPU melibatkan perusahaan strategis atau berdampak luas terhadap sektor tenaga kerja.

Untuk itu, pemerintah mewajibkan pelatihan, sertifikasi, dan kode etik ketat bagi para profesional di bidang PKPU dan kepailitan. Pengurus wajib memperbaharui izin secara berkala, mengikuti pelatihan lanjutan, serta tunduk pada mekanisme evaluasi dari asosiasi profesi maupun pengadilan.

Seperti apa bentuk pendidikan lanjutan atau pembaruan sertifikasi bagi pengurus PKPU?

Dalam proses PKPU, pendidikan lanjutan dan pembaruan sertifikasi menjadi elemen krusial untuk menjaga kualitas dan profesionalisme para pengurus. Martin Patrick Nagel dan Harvardy Muhammad Iqbal, Calon Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal AKPI periode 2025–2028, menegaskan bahwa pelatihan bukan hanya bersifat formalitas, melainkan bagian dari kewajiban berkelanjutan. 

“Pendidikan lanjutan adalah salah satu syarat dari perpanjangan izin praktik pengurus dan kurator, serta bentuk untuk menjaga bahkan meningkatkan keahlian dari Pengurus PKPU dan kurator. Karenanya, bentuk pendidikan lanjutan harus diselenggarakan oleh asosiasi kurator dan pengurus dengan memperhatikan mutu, kualitas dan etika profesi,” ujar Martin kepada Bloomberg Technoz.


Mereka juga menambahkan bahwa aspek sertifikasi kini turut diperkuat oleh regulasi pemerintah. “Mengenai sertifikasi kompetensi profesi yang saat ini diwajibkan oleh pemerintah dalam beberapa sektor, asosiasi harus memiliki standar kompetensi kerja profesi pengurus dan kurator, sehingga terdapat acuan yang bersifat universal yang dapat dirujuk oleh pengurus dan kurator di Indonesia,” jelas keduanya.

Namun, tanggung jawab profesional tidak berhenti pada aspek pendidikan. Integritas Pengurus PKPU selama menjalankan proses PKPU pun menjadi sorotan penting. Jika terjadi pelanggaran kode etik, sistem pengawasan internal asosiasi telah menyiapkan mekanisme tegas namun adil. “Pelanggaran kode etik merupakan ranah dari Dewan Kehormatan yang memiliki tugas dan fungsi memeriksa laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh pelapor terhadap pengurus-kurator,” jelas Martin dan Harvardy. Mereka menekankan pentingnya asas keadilan dalam penanganan kasus semacam ini.

Studi Kasus: Ketika PKPU Menjadi Jalan Keluar

Di Indonesia, sejumlah kasus PKPU telah menjadi bahan studi dan diskusi panjang di dunia hukum dan bisnis. Beberapa perusahaan besar, terutama di sektor properti, dan manufaktur, dan energi – menunjukkan bagaimana restrukturisasi yang difasilitasi melalui PKPU mampu memberikan ruang napas dan momentum pemulihan bagi entitas yang memiliki fundamental bisnis yang masih sehat. Sebagai contoh, beberapa perusahaan berhasil mencapai kesepakatan perdamaian dengan para kreditor melalui proposal yang terukur, kredibel, dan disusun berdasarkan proyeksi keuangan yang realistis. Dalam skenario seperti ini, PKPU tidak hanya berfungsi sebagai alat hukum, tetapi juga sebagai mekanisme rekonsolidasi kepercayaan, baik dari kreditor finansial maupun mitra usaha.

Namun demikian, tidak semua proses PKPU berakhir sukses. Kegagalan sering kali disebabkan oleh proposal perdamaian yang tidak rasional secara ekonomi, minimnya transparansi debitor terkait kondisi keuangan, hilangnya kepercayaan kreditor akibat rekam jejak manajemen yang buruk, dan ketidaknetralan pengurus yang menimbulkan konflik kepentingan. Dari studi-studi ini dapat disimpulkan bahwa keberhasilan PKPU bukan semata ditentukan oleh aspek legal-formal, tetapi juga oleh kemampuan manajemen Perusahaan dalam menyampaikan narasi pemulihan yang meyakinkan, serta kesediaan semua pihak untuk bertindak dengan iktikad baik.

Deklarasi Patrick Nagel dan Harvardy Muhammad Iqbal sebagai Ketum dan Sekjen AKPI periode 2025–2028. (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Martin Patrick Nagel dan Harvardy Muhammad Iqbal menyuguhkan catatan optimistis bahwa PKPU bukanlah jalan buntu, melainkan peluang nyata bagi perusahaan untuk bangkit. Keduanya menyebut sejumlah contoh perusahaan besar yang berhasil keluar dari ancaman kepailitan berkat proses PKPU. 

“Sudah banyak preseden bahwa PKPU berhasil menyelamatkan perusahaan dari kepailitan. Beberapa contoh, PT Pan Brothers Tbk sejak tahun 2024, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sejak tahun 2022, PT Bumi Resources Tbk sejak tahun 2017 dan lain sebagainya,” ujar Harvardy.

Namun, keberhasilan tersebut tidak datang begitu saja. Menurut Martin, terdapat sejumlah faktor krusial yang menjadi pembeda antara kasus PKPU yang sukses dan yang gagal. “Keberhasilan atau kegagalan suatu perkara PKPU sangat ditentukan oleh kombinasi faktor hukum, ekonomi, dan komunikasi antara debitor, kreditor, pengurus PKPU dan para ahli serta profesi penunjang dalam proses restrukturisasi”. 

Mereka juga menambahkan bahwa “Gagalnya PKPU umumnya terjadi karena rencana perdamaian tidak disetujui oleh kreditor atau tidak dijalankan dengan baik, sehingga perusahaan masuk ke tahap kepailitan.” Selain itu, proposal yang tidak rasional, komunikasi yang buruk, hingga kurangnya dukungan dari kreditor utama dan sikap tidak kooperatif dari debitor menjadi penyebab utama kegagalan.

Dengan demikian, PKPU bukan hanya soal legalitas semata, melainkan juga soal strategi, kepercayaan, dan sinergi lintas pihak. Di tangan pengurus yang profesional dan kreditor-debitor yang terbuka untuk dialog, PKPU bisa menjadi jembatan penyelamat dari jurang kebangkrutan.

(tim)

No more pages