Meski sepatu lari selalu memiliki peran penting untuk inovasi di industri pakaian olahraga, Cochrane menyebut bahwa Puma dan Adidas yang berbasis di Bavaria justru kurang memberi perhatian pada segmen ini dalam lima tahun terakhir. Fokus keduanya lebih tertuju pada lini lifestyle, yang akhirnya memberi ruang bagi pemain baru seperti Hoka untuk mencuri perhatian.
Saham Puma telah anjlok 48% sepanjang tahun, sementara Adidas turun 10%. Puma menolak memberi komentar jelang rilis laporan keuangan kuartal keduanya pada 31 Juli. Adidas, yang dijadwalkan melaporkan kinerja pada 30 Juli, hanya merujuk pada pernyataan kuartal pertama yang menyebut mereka terus memperluas kehadiran di pasar sepatu lari. Tidak ada komentar tambahan jelang rilis laporan keuangan mendatang.
Cochrane menilai, membangkitkan kembali lini sepatu lari dapat membantu Puma memperkuat mereknya. Salah satu andalan adalah seri Nitro, yang diluncurkan pada 2021 dan menggunakan sol berbasis gas nitrogen untuk memberi daya pantul ekstra yang kemungkinan menjadi kunci strategi CEO baru Arthur Hoeld.
Adidas juga tak bisa mengabaikan segmen ini. Minat terhadap lini seperti Terrace mulai melemah, sementara model retro seperti Superstar dan SL 72 kehilangan momentum. Namun, berdasarkan analisis data Google Trends oleh Barclays Plc, lini sepatu lari seperti adizero dan EVO SL menunjukkan “momentum kuat.” Produk ini juga diperkirakan dapat menarik pembeli lifestyle di luar komunitas atlet.
Cochrane mengatakan bahwa performa atlet-atlet unggulan dengan sepatu Adidas serta keterlibatan tinggi pada akun Instagram khusus lari perusahaan memperkuat posisi merek di segmen ini yang berpotensi menjadi pendorong pertumbuhan berikutnya sekaligus meningkatkan margin. Ia menambahkan, Adidas kemungkinan akan menaikkan target laba saat merilis laporan bulan ini.
Meski menghadapi tantangan serupa, pesaing utama Nike Inc. telah mengambil langkah pemulihan. Perusahaan menunjuk kembali Elliott Hill sebagai CEO untuk memperbaiki relasi dengan peritel, memperkuat pengembangan produk, dan kembali fokus pada olahraga setelah sebelumnya terlalu menitikberatkan pada segmen lifestyle.
Segmen sepatu lari tampil kuat bagi Nike, dengan model Vomero mencatat pertumbuhan di seluruh wilayah, menurut analis Citigroup Inc. Monique Pollard.
Analis Bloomberg Intelligence Catherine Lim dan Trini Tan juga menilai bahwa rencana Nasional Kebugaran China (China’s National Fitness Plan) berpotensi meningkatkan penjualan perlengkapan olahraga. “Perusahaan seperti Nike dan Adidas bisa menjual produk bernilai lebih tinggi dan meningkatkan sponsorship acara olahraga guna menangkap kenaikan belanja per kapita di China,” tulis mereka dalam riset.
Tarif tetap menjadi ancaman bagi industri sportswear, memaksa perusahaan menyesuaikan rantai pasok dan meningkatkan biaya. Kesepakatan dagang terbaru dengan Vietnam, salah satu pusat produksi utama, menghasilkan bea masuk 20%, jauh di atas ekspektasi dan kemungkinan memaksa Nike menaikkan harga produknya, menurut analis BI Poonam Goyal dan Sydney Goodman.
Rencana Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan tarif sebesar 36% terhadap produk dari Kamboja dan Thailand, serta 40% dari Laos yang semuanya merupakan pemasok utama industri fesyen turut menyeret saham Puma dan Adidas saat diumumkan. Kebijakan tarif ini akan berlaku mulai 1 Agustus.
Memperkuat posisi di pasar sepatu lari dinilai bisa menjadi strategi jangka panjang yang cerdas. “Begitu tarif dikonfirmasi, akan ada dampak terhadap harga dan margin. Tapi setelah itu terlewati, pertumbuhan penjualan akan menjadi motor utama laba, dan segmen lari akan memainkan peran penting,” kata Cochrane.
“Seiring merek-merek besar kembali memfokuskan diri di segmen sepatu lari, hal itu akan membantu memulihkan sentimen investor terhadap saham-saham tersebut.”
(bbn)































