Di sisi lain, menurut Bambang, amanat putusan MK dengan nomor No. 36 /PUU-X/2012 meminta pemerintah untuk membentuk badan baru pengganti BP Migas yang dibubarkan. Spesifiknya, MK mengamanatkan bentuk Badan Usaha Khusus atau BUK.
“Itu badan usaha konsepnya seperti BUMN, tapi intinya perbaikan regulasi ini harus dilakukan setelah putusan MK 2012 lalu,” kata Bambang.
Sebelumnya, DPR mengungkapkan alasan RUU Migas tidak masuk ke dalam daftar 41 prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Anggota Komisi XII DPR, yang juga Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno menjelaskan RUU Migas termasuk dalam kategori kumulatif terbuka. Dengan demikian, RUU Migas dapat diajukan kapan saja tanpa terikat mekanisme prioritas Prolegnas.
“RUU Migas itu kumulatif terbuka. Artinya, ketika ada pasal-pasal dalam undang-undang yang sudah tidak berlaku lagi, itu bisa langsung diajukan tanpa harus melalui mekanisme prioritas Prolegnas,” kata Eddy di sela kegiatan Hilir Migas Conference, Expo, & Awards 2024, medio Desember.
Eddy menyebut DPR hanya diperbolehkan membahas dua undang-undang dalam satu waktu. Setelah pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) rampung, RUU Migas dapat langsung masuk dalam agenda pembahasan.
"Jadi kalau perkiraan kita, UU EBET selesai, kita akan melaksanakan [RUU Migas], kita hanya boleh membahas 2 undang-undang per tahunnya," tutur Eddy.
Sementara itu, Kepala SKK Migas Djoko Siswanto mengatakan instansinya bersama dengan DPR dan perwakilan pemerintah masih merancang revisi UU Migas. Menurut Djoko, revisi UU Migas itu telah sampai pada tahap dengar pendapat antara parlemen dan esekutif.
“Jadi, ketika kami bertemu dengan pemerintah, dan mereka bertanya mengenai RUU migas, Saya pikir pemerintah telah mengirimkan daftar inventarisasi masalah [DIM],” ujarnya ditemui di pergelaran IPA Convex di ICE BSD, Selasa (20/5/2025).
(naw)
































