Komentar miring warganet bukan tanpa alasan. Rekam jejak IPO dengan emisi kecil tidak selalu baik.
Sebelum MERI, ada emiten di industri sejenis yang lebih dahulu IPO, yakni PT Lavender Cendikia Tbk (BMBL). Sejak IPO pada 2023, harga sahamnya saat ini hanya dibanderol di Rp16/saham (lihat tabel).
Tabel di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya IPO emisi kecil yang kemudian harga sahamnya jatuh hingga di bawah harga pelaksanaan, sehingga membuat banyak investor 'nyangkut'.
Padahal, usia emiten tersebut di BEI sudah cukup lama, yang seharusnya sudah memiliki banyak sentimen fundamental untuk mengerek harga. Nasib IPO emisi kecil sepanjang tahun ini juga mirip.
Contoh, PT Raja Roti Cemerlang Tbk (BRRC) yang IPO Rp61,21 miliar. Harga pelaksanaannya Rp210/saham dan listing pada 9 Januari 2025. Harganya saat ini parkir di kisaran Rp57/saham.
Ada juga PT Cipta Sarana Medika Tbk (DKHH) yang harganya saat ini ada di Rp68, jauh di bawah harga pelaksanaan IPO Rp132/saham. DKHH IPO pada Mei kemarin dengan nilai emisi sebesar Rp69,96 miliar.
Rawan Nyangkut
Reydi Octa, pengamat pasar modal dari Panin Sekuritas mengatakan, tidak semua emiten IPO kecil selalu bikin uang ritel 'nyangkut'. Masih ada potensi saham IPO kecil yang harga sahamnya bisa naik untuk jangka panjang.
Cuma memang, dalam kebanyakan kasus, harga saham emiten IPO turun hingga melewati harga pelaksanaan tak lama setelah listing.
"Itu karena perusahaan kecil biasanya sering memiliki fundamental yang lemah, kesulitan keuangan, sektor usaha yang tidak bisa berkembang lagi," ujar Reydi.
"Jadi seolah emiten tersebut IPO karena hanya ingin mendapatkan dana masyarakat yang kemudian tidak diiringi kinerja perusahaan yang baik."
Setali tiga uang, Founder Stocknow.id Hendra Wardana menilai jika emiten kecil yang hendak IPO saat ini memiliki potensi membuat investor ritel 'nyangkut'.
"Dalam banyak kasus, saham-saham dari emiten kecil cenderung aktif hanya dalam jangka pendek pasca pencatatan dan kemudian mengalami stagnasi karena kurangnya sentimen lanjutan dan minimnya perhatian investor besar."
Tidak Haram, Tapi Berisiko
Sejatinya, sah-sah saja jika tetap ingin membeli saham IPO emisi kecil. Namun, cukup berisiko jika kemudian menyimpannya untuk jangka panjang, karena ini ada kaitannya dengan prospek fundamental perusahaan ke depan.
PT Diastika Biotekindo misalnya. Nilai emisi perusahaan di sektor kesehatan ini tak sampai Rp100 miliar.
"Dari sisi valuasi Diastika yang nantinya menggunakan kode saham CHEK mahal. Ini tercermin dari price to earning ratio (PER) dan price to book value (PBV) yang masing-masing sebesar 32,2 kali dan 5,23 kali," jelas analis Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas.
Padahal, rata-rata PER dan PBV di industrinya masing-masing hanya 12 kali dan 1,9 kali. Pada saat yang sama, investor masih memiliki banyak pilihan lain karena terdapat saham di sektor sejenis dengan valuasi yang lebih murah.
Kemudian, ada juga PT Asia Pramulia yang memiliki emisi IPO sekitar Rp100 miliar. Menurut Sukarno, valuasi saham ASPR juga tergolong mahal dibanding emiten sejenis di sektor industri dasar.
"Kesehatan keuangan ASPR ke depan juga perlu diwaspadai karena cukup tinggi dan berada di atas rata-rata industri," kata Sukarno.
Asia Pramulia memiliki debt to equity ratio (DER) sebesar 2,34 kali, jauh di atas rata-rata industri yang sebesar 0,5 kali.
Adapun PER dan PBV saham ASPR masing-masing sebesar 61,2 kali dan 4,41 kali, jauh di atas industri yang masing-masing sebesar 26,8 kali dan 0,8 kali.
Kurang Relevan
Hendra mengatakan, jika dalam konteks upaya Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mendorong inklusi pasar modal dan memperluas akses pendanaan bagi pelaku usaha, maka IPO emiten kecil menjadi relevan. Namun, menjadi kurang relevan jika IPO kecil memiliki konteks sebagai upaya BEI untuk meningkatkan likuiditas pasar.
"Kehadiran emiten kecil memang menambah lebar pasar (breadth), tetapi belum tentu menambah kedalaman (depth), yang lebih ditentukan oleh kapitalisasi besar, volume transaksi yang berkelanjutan, dan partisipasi investor institusi," jelas Hendra.
"Hal itu kemudian menimbulkan pertanyaan apakah upaya IPO yang masif hanya bertujuan mengejar target penerbitan 407 instrumen tahun ini atau benar-benar berdampak terhadap likuiditas riil."
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy memiliki pandangan senada. BEI seharusnya jangan mengejar kuantitas, tetapi kualitas.
"Pasar modal sejatinya memang bukan sarana yang pas menghimpun dana untuk usaha kecil dan mikro. Kecuali, mereka bersedia menyiapkan liquidity provider atau market maker," tutur Budi.
Dia menambahkan, jangankan UKM, emiten yang IPO kemudian memiliki market cap ratusan miliar hingga Rp1 triliun pun masih tidak menarik di mata investor institusi, terlebih asing.
"Sehingga, tidak pernah dilirik. Jadi, hanya investor ritel dengan dana terbatas yang mungkin masih mau membeli saham very small cap."
(dhf)






























