"Mengingat sebagian besar komoditas kita bergantung pada jalur laut, maka lonjakan biaya tersebut berpotensi mengganggu harga barang, distribusi dalam negeri, hingga pada akhirnya memengaruhi kondisi ini ekonomi nasional," tutur dia.
Industri pelayaran saat ini, lanjut dia, juga telah memulai diskusi intens secara informal dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah untuk membahas perkembangan konflik geopolitik global tersebut.
"Meskipun koordinasi formal secara kelembagaan masih dalam tahap penjajakan, diskusi-diskusi strategis telah mulai dilakukan secara informal untuk mengantisipasi dampak lanjutan dari dinamika global tersebut."
Sebelumnya, dua supertanker—yang masing-masing mampu mengangkut sekitar 2 juta barel minyak mentah — terpantau berbalik arah di Selat Hormuz setelah serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap Iran meningkatkan risiko respons yang akan menjerat pengiriman komersial di wilayah tersebut.
Coswisdom Lake dan South Loyalty memasuki jalur air dan tiba-tiba mengubah arah pada Minggu (22/6/2025), menurut data pelacakan kapal yang dikumpulkan oleh Bloomberg. Kedua kapal barang kosong itu kemudian berlayar ke selatan, menjauh dari muara Teluk Persia.
Sistem elektronik dan sinyal kapal makin terganggu di Teluk Persia sejak serangan udara Israel pada 13 Juni, tetapi kedatangan kedua kapal tersebut — dan perubahan arah berikutnya — memiliki ciri-ciri pergerakan kapal tanker yang normal.
Bersama-sama, kapal tanker tersebut menawarkan tanda-tanda pertama pengalihan rute kapal minyak setelah serangan AS.
Pemilik dan pedagang kapal tanker minyak saat ini memang tengah mencermati tanda-tanda bahwa eskalasi di Timur Tengah akan memengaruhi pergerakan dan arus kapal.
Bloomberg juga melaporkan Kementerian Perkapalan Yunani telah mengeluarkan pemberitahuan yang menyarankan kapal-kapalnya untuk menilai kembali pergerakan melalui Hormuz dan sebagai gantinya berlindung di pelabuhan yang aman hingga situasi tenang.
(lav)































