"Mereka menutup mata adanya investasi petrokimia dan mengabaikan arahan Presiden Prabowo terkait pembangunan kilang-kilang petrokimia seperti Paraxylene dan Asam Tereftalat sebagai bahan baku dari benang polyester. Investasi ini terancam batal akibat penolakan tanpa dasar atas rekomendasi KADI [Komite Anti Dumping Indonesia]," ujar Farhan.
Dia pun menantang Mendag untuk membuka data hasil pertimbangan ditolaknya rekomendasi KADI, termasuk data pasokan benang filamen yang diproduksi dalam negeri maupun yang diimpor.
Padahal, kata dia, data KADI tersebut diklaim membuktikan adanya praktik dumping yang dilakukan lebih dari 38 perusahaan dari China yang marjin dumpingnya bervariatif mulai dari 42 hingga 5%.
"Kalau mau dibuka impornya, silahkan buka pemberian dan rekomendasi kouta impor benang filamen polyester. Siapa² yang mendapatkan kouta dan berapa besarnya. Kami siap melakukan stop produksi jika impornya melebihi kapasitas dalam negeri," tutur Farhan.
Diapresiasi API
Berbeda dengan APSyFI, Asosiasi Perstekstilan Indonesia (API), yang sebagian besar bergerak di sektor usaha industri hilir tekstil justru mengapresiasi keputusan pemerintah yang tidak menolak usulan BMAD tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan API Anne Patricia Sutanto mengatakan, apresiasi tersebut dilakukan lantaran pemerintah diklaim telah mendengar masukan dari para pelaku usaha berdasarkan informasi terkini, termasuk dinamika pasar dunia.
"Kekhawatiran mengenai dumping dari negara lain bisa tetap di atasi dengan pengaturan impor oleh pemerintah sesuai kinerja produksi masing-masing pihak," ujar Anne melalui pernyataan resmi.
Anne, yang juga Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan mereka menerima surat petisi dari 101 pengusaha tekstil sekitar 3 bulan yang lalu, yang turut mempertemukan pengusaha di hulu atau APSyFI.
Dalam petisi itu, Anne mengatakan mereka mempersoalkan soal produk benang filamen sintetis tertentu yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY). Dia merasa pengenaan BMAD kepada dua produk tersebut bukan solusi yang tepat bagi industri hulu penghasil produk itu.
Anne juga menyebut kekhawatiran APSyFI itu telah dibahas dalam pertemuan itu, yang salah satu hasilnya adalah perwakilan 101 pengusaha tersebut bersedia menyerap kapasitas produksi POY dalam negeri, dengan praktik standar bisnis.
"Malah dari perwakilan 101 pengusaha juga mengusulkan pemerintah melalui Kemenperin tetap dapat mengatur harmonisasi kebutuhan impor POY dan DTY berdasarkan kebutuhan dalam negeri vs [versus] kapasitas produksi dalam negeri," tutur dia.
"Sehingga, kekhawatiran mengenai dumping dari negara lain bisa tetap di atasi dengan pengaturan impor oleh pemerintah sesuai kinerja produksi masing-masing pihak," sambungnya menegaskan.
Penolakan Pemerintah
Kementerian Perdagangan (Kemendag) memang sebelumnya resmi menolak dan tidak memproses lebih lanjut usulan pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China.
Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan penolakan tersebut dilakukan guna menjaga daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri secara menyeluruh, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.
"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas," ujarnya melalui keterangan resmi, dikutip Jumat (20/6/2025).
Busan, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa saat ini kapasitas produksi benang filamen nasional juga masih sangat terbatas, yang sebagian besar produksi digunakan untuk keperluan sendiri.
Selain itu, pertimbangan lainnya adalah sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan trade remedies yang meliputi Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023.
Kemudian, ada juga BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, Tiongkok, dan Taiwan berdasarkan PMK No. 176 Tahun 2022. Jika BMAD atas benang filamen sintetis tertentu tetap diberlakukan, maka akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir.
“Sektor industri TPT baik hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri," tutur dia.
(ell)
































