Namun, idealisme itu akhirnya dikompromikan ketika WhatsApp dijual ke Facebook (kini Meta) pada Februari 2014 seharga US$19 miliar. Kesepakatan itu mengubah nasib banyak karyawan WhatsApp. Bahkan delapan orang di antaranya memperoleh lebih dari US$100 juta, dan kekayaan Koum melonjak hingga US$6,8 miliar.
Seiring berkembangnya jumlah pengguna WhatsApp yang kini melampaui tiga miliar secara global, tekanan terhadap Meta untuk memonetisasi platform ini semakin besar, seperti dilaporkan Bloomberg News.
Meski sebelumnya Meta telah mencoba menghasilkan pendapatan lewat layanan pesan bisnis dan iklan "klik ke WhatsApp" dari Facebook dan Instagram, ini adalah kali pertama iklan benar-benar muncul langsung di dalam aplikasi WhatsApp.
Peluncuran fitur iklan ini bukan tanpa kontroversi. Acton pernah mencoba mendorong model berlangganan mikro, dengan mengenakan biaya sangat kecil kepada pengguna setelah kuota pesan gratis habis, sebagai alternatif dari periklanan. Namun, Sheryl Sandberg, yang saat itu menjabat sebagai COO Facebook, menolak gagasan tersebut dan tetap memilih model iklan sebagai sumber utama monetisasi.
Pada akhirnya, Acton menyadari bahwa visinya kalah oleh realitas. "Saya menjual perusahaan saya," ujarnya kemudian. Koum juga dilaporkan menolak berbagai upaya internal untuk menyisipkan iklan hingga akhirnya ia mundur dari Meta.
Meskipun Meta mengklaim pendekatan iklan di WhatsApp lebih hati-hati dibanding platform lain miliknya, kekhawatiran terhadap privasi masih membayangi.
Iklan ditargetkan berdasarkan lokasi pengguna, saluran yang mereka ikuti, dan interaksi mereka di dalam WhatsApp serta aplikasi Meta lainnya, seperti Facebook dan Instagram, jika akun mereka terhubung.
Meta sebelumnya sempat mengumumkan niat menghadirkan iklan ke WhatsApp pada 2018, lalu menangguhkannya pada 2020. Kini, perusahaan menegaskan peluncuran benar-benar akan dilakukan, seperti disampaikan oleh Chief Marketing Officer dan VP Analytics Meta, Alex Schultz, di LinkedIn: "Kali ini benar-benar nyata."
Namun, perubahan ini tetap berisiko. Pengguna WhatsApp terbiasa dengan pengalaman bersih, bebas iklan, dan privasi tinggi dengan enkripsi end-to-end. Ketika kebijakan privasi WhatsApp diubah pada 2021 untuk memungkinkan lebih banyak fitur perpesanan bisnis, banyak pengguna pindah ke aplikasi alternatif seperti Signal dan Telegram.
Masuknya iklan ke WhatsApp menambah daftar panjang contoh ketika idealisme pendiri teknologi dikalahkan oleh kepentingan bisnis. Sam Altman, yang semula ingin mendirikan OpenAI sebagai organisasi nirlaba, akhirnya bermitra dengan Microsoft. Demis Hassabis dari DeepMind pun harus menyerahkan kendali kepada Google meskipun berusaha keras menjaga independensi.
Koum dan Acton mungkin naif ketika berpikir mereka bisa menjual WhatsApp ke salah satu perusahaan periklanan terbesar di dunia dan tetap mempertahankan prinsip anti-iklan. Pada akhirnya, US$19 miliar adalah harga yang cukup besar untuk menukar idealisme dengan kenyataan.
(wep)































