Pada penutupan bursa New York kemarin, rupiah forward (NDF) ditutup menguat tipis 0,02% di level Rp16.305/US$. Pagi ini, rupiah forward bergerak di kisaran Rp16.301/US$, menguat tipis 0,02%.
Level tersebut masih cukup jauh dengan posisi penutupan rupiah spot kemarin di Rp16.265/US$ mengisyaratkan masih ada potensi pelemahan. Namun, asa de-eskalasi Timteng mungkin akan mengikis sedikit sentimen risk-off dan memberi ruang pada rupiah dalam tataran terbatas.
Rupiah spot kemarin akhirnya menguat di ujung perdagangan bergabung dengan mayoritas mata uang Asia, setelah sepanjang hari tertekan. Situasi itu mungkin akan berulang lagi hari ini, menyusul adanya harapan akan penurunan tensi konflik di Timur Tengah.
Melansir laporan Wall Street Journal Senin kemarin, yang mengutip sejumlah pejabat Timur Tengah dan Eropa tanpa menyebut identitasnya, Pemerintah Iran memberi sinyal ingin meredakan konflik dan bersedia melanjutkan pembicaraan nuklir dengan AS, selama Washington tidak ikut serta dalam serangan militer Israel.
Laporan serupa dari Reuters menyebut Iran menyampaikan pesan ini melalui Qatar, Arab Saudi, dan Oman. Presiden AS Donald Trump mengatakan Iran ingin meredakan ketegangan dengan Israel, meski kedua pihak masih saling melancarkan serangan selama empat hari berturut-turut. Saat ditanya apakah AS akan terlibat lebih jauh secara militer, Trump menjawab bahwa ia tidak ingin membahasnya.
Perkembangan terakhir itu cukup memberikan asa pada pasar dengan indeks saham di Wall Street kemarin ditutup hijau, begitu juga bursa saham Eropa. Harga minyak jenis WTI ditutup melemah 1,66% kemarin bersama Brent yang juga turun 1,35%.
Para investor memperkirakan konflik tidak akan melibatkan pihak-pihak lain dalam waktu dekat.
“Fokus pasar akan tetap tertuju pada perkembangan geopolitik, tetapi selama konflik hanya terbatas antara Israel dan Iran, dampaknya terhadap pasar kemungkinan tidak akan terlalu signifikan,” kata Tom Essaye dari The Sevens Report, dilansir dari Bloomberg News.
Risiko fiskal
Pada perdagangan kemarin, pasar domestik masih cenderung tertekan dengan IHSG akhirnya ditutup melemah 0,68%. Sedangkan harga surat utang negara juga tertekan karena investor mulai memperhitungkan risiko fiskal bila perang di Timur Tengah berlarut dan melejitkan harga minyak dunia.
SUN tenor 10 tahun naik yield-nya 2,5 basis poin menyentuh lagi 6,730%, bersama tenor 5 tahun yang juga naik 1,2 basis poin. Sedangkan tenor 2 tahun terkikis sedikit 0,5 basis poin. Kini, selisih antara tenor 2Y dan 10Y menyemput jadi 57,8 basis poin.
Pejabat Kementerian Keuangan RI mengatakan, pemerintah menilai perang di Timur Tengah bisa menambah tekanan pada inflasi domestik, biaya subsidi energi, serta beban fiskal di Tanah Air.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro mengatakan kondisi itu bisa terjadi bila perang antara Iran dan Israel terjadi berlarut-larut dan menyebabkan lonjakan harga minyak dunia secara signifikan.
"Dampak terhadap perekonomian Indonesia sebagai negara dengan sistem ekonomi terbuka, akan sangat bergantung pada seberapa panjang dan luas eskalasi konflik ini berlangsung," kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro.
"Pemerintah, melalui Kemenkeu, terus memantau berbagai perkembangan situasi geopolitik global, termasuk ketegangan antara Iran dan Israel," kata Deni.
Perkembangan terkini geopolitik kemungkinan juga akan mengerem langkah Bank Indonesia dalam melanjutkan pelonggaran moneter. Ketegangan global bisa memicu sentimen risk-off lebih lama yang merugikan pasar keuangan domestik, dengan dana global bisa keluar baik dari saham maupun surat utang hingga makin melemahkan nilai rupiah.
Selama kuartal II ini, dana asing telah mencatat belanja di SUN senilai US$ 2,46 miliar quarter-to-date, sekitar Rp40,12 triliun sampai data terakhir per 12 Juni, berdasarkan publikasi Kementerian Keuangan yang dikompilasi oleh Bloomberg.
Sedangkan di pasar saham, asing masih mencatat net sell senilai US$ 1,11 miliar quarter-to-date hingga data perdagangan per 16 Juni kemarin. Angka itu setara dengan Rp18,1 triliun. Sepanjang tahun ini, net sell investor global di pasar saham RI masih besar, mencapai US$ 2,94 miliar, sekitar Rp47,85 triliun.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson menilai, kendati performa rupiah sebulan terakhir lebih baik dibandingkan mata uang peers di Asia, akan tetapi pemangkasan bunga acuan lebih lanjut akan terlalu berisiko untuk sentimen dana asing.
Menghitung sejak BI rate diputuskan turun pada 21 Mei lalu, rupiah sejauh ini telah mencetak penguatan 0,8%, ketiga terbaik di Asia, mengalahkan won, ringgit, juga yuan serta dolar Singapura. Meski masih kalah oleh dolar Taiwan dan baht Thailand.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah memperlihatkan potensi pelemahan terbatas dengan mencermati support terdekat di Rp16.300/US$, lalu support kedua di Rp16.310/US$.
Apabila menembus dua support tersebut, rupiah berpotensi makin melemah menuju Rp16.350/US$ sampai dengan Rp16.400/US$ sebagai support terkuat.
Jika terjadi penguatan hari ini, resistance menarik dicermati di Rp16.250/US$ dan selanjutnya Rp16.200/US$ hingga Rp16.180/US$.
(rui)

































