Logo Bloomberg Technoz

"Jadi kalau misalnya kita makan di bawah 2100 kalori per hari maka secara otomatis kita dianggap negara sebagai orang miskin. Lalu, misalnya kita tergolong orang yang gak mampu berobat, maka kita tergolong miskin," ujarnya.

Dedek mengamini pendekatan yang digunakan oleh BPS berbeda dengan Bank Dunia atau World Bank. Hal ini terjadi karena kedua lembaga tersebut memiliki tujuan yang berbeda dalam menghitung garis kemiskinan.

Dalam hal ini, BPS memiliki tujuan untuk menangkap profil kemiskinan di Tanah Air, sementara Bank Dunia untuk melakukan perbandingan secara internasional.

Dikonfirmasi secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengatakan Indonesia belum memiliki rencana untuk mengubah perhitungan garis kemiskinan. Saat ini, pemerintah juga masih mengikuti standar yang digunakan BPS.

"Belum ada, ya kita menggunakan standar yang ada di kita. Kita ikut standar BPS," ujar Airlangga saat ditemui di kantornya.

Sebelumnya, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyebutkan BPS dan kementerian/lembaga terkait sedang dalam proses menyusun penyempurnaan metodologi garis kemiskinan. Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory mengatakan langkah ini merupakan yang pertama sejak revisi terakhir pada 1998.

"Harapannya, dalam waktu dekat atau tahun ini, kita akan memiliki acuan yang baru dan lebih mencerminkan realitas," ujar Arief Anshory kepada Bloomberg Technoz, Selasa (10/6/2025).

Dalam hal ini, Arief merekomendasikan pemerintah untuk mengadopsi standar negara berpenghasilan menengah bawah dari Bank Dunia, yakni US$4,2 dalam perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021 per orang per hari, atau sekitar Rp765.000 per orang per bulan.

Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional saat ini sebesar Rp595.000, tetapi masih jauh lebih rendah dari standar negara berpenghasilan menengah atas sebesar Rp1,5 juta per orang per bulan. Arief mengamini Bank Dunia sudah mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah atas pada 2023. Namun, karena Indonesia baru saja naik kelas, maka standar negara berpenghasilan menengah atas menjadi terlalu tinggi.

"Dengan menjadikannya sekitaran Rp765.000 sebagai garis kemiskinan nasional baru, maka angka kemiskinan akan naik ke sekitar 20%. Namun, ini akan lebih mencerminkan kondisi sebenarnya di masyarakat dan membuka ruang kebijakan yang lebih akurat," ujarnya.

Bank Dunia melaporkan tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 68,25% dari populasi pada 2024, berdasarkan laporan terbaru per Juni 2025. Angka ini setara 194,58 juta jiwa penduduk miskin dari total populasi 285,1 juta pada 2024.

Angka itu mengalami peningkatan dibanding tingkat kemiskinan 2024 yang tercantum berdasarkan laporan Macro Poverty Outlook April 2025, yakni hanya 60,3% atau 171,9 juta penduduk miskin.

Tingkat kemiskinan yang naik di Indonesia terjadi seiring langkah Bank Dunia untuk mengubah garis kemiskinan, sebagaimana termaktub dalam June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform.

Dalam hal ini, Bank Dunia resmi mengadopsi perhitungan PPP 2021 untuk menghitung tingkat kemiskinan, yang diterbitkan oleh International Comparison Program pada Mei 2024. Perhitungan itu berubah dibandingkan dengan standar PPP 2017 yang digunakan Bank Dunia pada laporan April 2025.

Data resmi BPS melaporkan tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024.

Menyitir situs resminya, BPS mengatakan perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.

Bank Dunia memiliki tiga pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Pertama, international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem. Kedua, negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income). Ketiga, negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).

Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam US$ PPP, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03.

BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun.

Pada 2024, Susenas dilaksanakan pada Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

(lav)

No more pages