Pemodal asing masih membukukan net buy selama enam bulan beruntun sejak Desember tahun lalu. Animo asing terhadap pasar surat negara bisa terus berlanjut didukung oleh tren disinflasi yang menguat serta sinyal pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Dua hal itu akan dapat memperkuat alasan bagi Bank Indonesia memangkas BI rate lebih lanjut. Namun, pasar juga masih mencermati risiko fiskal yang belum sepenuhnya sirna, di mana dinamika seputarnya kemungkinan membatasi akan sejauh mana reli harga surat utang negara di sisa tahun ini.
"Bank Indonesia bisa melanjutkan pemangkasan bunga acuan sebanyak 50-75 basis poin lagi," kata Bo Zhuang, Global Macro Strategist di Loomis Sayles, dilansir dari Bloomberg.
Inflasi yang rendah dan mungkin mengejutkan dengan pergerakan cenderung di batas bawah, akan memberi ruang lebih besar bagi BI untuk memangkas bunga acuan.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian menilai, Bank Indonesia sebaiknya mengurangi penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), instrumen operasi moneter yang menjadi penarik dana asing jangka pendek alias hot money sejak 2023.
"BI sebaiknya mengurangi penerbitan SRBI, sehingga SRBI yang jatuh tempo bisa menjadi demand untuk obligasi negara," kata Fakhrul.
Tren itu sebenarnya sudah terjadi belakangan. Melansir data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, selama periode transaksi 2-4 Juni lalu, asing membukukan net sell senilai Rp5,69 triliun. Pada saat yang sama, asing mencetak posisi beli bersih di Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp5,19 triliun.
Kelesuan ekonomi
Pasar mencermati prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini yang terancam makin nyungsep, terhempas efek perang dagang.
Terbaru, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memangkas proyeksi ekonomi Indonesia menjadi hanya tumbuh 4,7% pada 2025, makin rendah ketimbang perkiraan sebelumnya 4,9%.
Upaya Pemerintah RI menstimulasi perekonomian melalui pengucuran paket insentif, juga akan jadi perhatian karena penghitungan terhadap kekuatan anggaran juga dicermati oleh para investor.
OECD memperkirakan defisit anggaran Indonesia akan menjadi 2,8% terhadap PDB pada 2025. Angka itu membengkak dibandingkan dengan 2,3% pada 2024.
Perluasan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak sekolah dan ibu hamil, pembentukan dana kekayaan negara baru BPI Danantara, dan hilangnya pendapatan akibat diskon tarif listrik pada awal 2025 akan memberikan tekanan tambahan sekitar 1,6% terhadap PDB pada defisit anggaran.
Sementara langkah efisiensi anggaran menyeluruh sebesar 1,3% terhadap PDB dinilai menjadi langkah mitigasi pemerintah untuk mempertahankan defisit anggaran pada batas maksimum 3%, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
(rui)





























