Hadi menjelaskan prakiraan harga minyak masih belum bisa ditentukan secara akurat lantaran situasi politik di berbagai belahan dunia makin labil, ditambah dengan situasi perang tarif yang masih berlangsung yang mengaburkan prospek ekonomi dunia.
Pun demikian, jika melihat kecenderungan pergerakan harga minyak saat ini yang jauh di bawah rentang 2022, saat harga Pertalite dinaikkan dari Rp7.650/liter menjadi Rp10.000/liter, sudah semestinya pemerintah turun mengoreksi harga bensin bersubsidi itu.
Saat itu, minyak dunia bergerak di atas US$90/barel, bahkan sempat menembus di atas US$100/barel, akibat sentimen dimulainya invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.
“Memang idealnya pemerintah seharusnya menurunkan sedikit harga Pertalite karena harga ICP turun sedikit. Perlu diingat, karena ini komoditas strategis, naik-turunnya BBM harus mendapatkan persetujuan DPR karena menyangkut mekanisme subsidi,” kata Hadi.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti juga sepakat harga Pertalite idealnya diturunkan jika mengacu pada pergerakan harga minyak dunia belakangan ini.
“Jika kita lihat harga minyak saat ini, idealnya harga [Pertalite] turun,” kata Yayan.
Minyak dunia, menurutnya, kemungkinan masih akan terus turun harga lantaran kondisi oversupply minyak mentah dan elastisitas permintaan yang turun karena perlambatan ekonomi global.
Selain akibat sentimen perang dagang yang digalakkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, harga minyak juga melembam seiring dengan arus perdagangan dunia yang melambat dan memengaruhi konsumsi minyak dunia.
Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, langkah penurunan harga Pertalite dapat ditempuh sebab harga minyak dunia bergerak di pusaran US$60/barel, jauh di bawah level asumsi harga minyak yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2025 yakni sebesar US$82/barel.
Bhima menegaskan, asumsi harga minyak dunia dalam APBN 2025 tersebut memiliki selisih sekitar US$22/barel dengan harga minyak dunia terkini. Dengan begitu, dia menilai realisasi pembayaran subsidi BBM dalam APBN 2025 harusnya ikut mengalami penurunan.
“Jadi kurang fair jika harga BBM non subsidi turun, sementara Pertalite belum ikut turun juga,” tegas Bhima.
Harga minyak sempat anjlok ke level terendah dalam empat tahun, di bawah US$60 per barel pada April, setelah OPEC+ mengumumkan akan meningkatkan produksi hingga tiga kali lipat dari jumlah yang dijadwalkan.
Disparitas Harga
Di dalam negeri, PT Pertamina (Persero) kembali menurunkan harga BBM nonsubsidi per 1 Juni 2025. Penurunan harga tersebut, menjadi ketiga kalinya setelah berturut-turut dilakukan sejak Mei dan April.
Saat ini, harga BBM nonsubsidi termurah ditempati oleh Petamax (RON 92) yang dibanderol Rp12.100/liter. Sementara itu, Pertalite (RON 90) dibanderol seharga Rp10.000/liter dan tidak mengalami perubahan harga sejak terakhir kali dinaikan pada 2022.
Terkait dengan itu, Bhima menilai menyempitnya disparitas harga antara Pertamax dan Pertalite membuat segelintir masyarakat berpindah untuk menggunakan BBM nonsubsidi, yakni Pertamax.
Dengan begitu jumlah pembayaran kompensasi yang dibayarkan pemerintah ke Pertamina juga dapat berkurang, seiring menurunnya harga minyak dunia dan ditekannya konsumsi Pertalite.
“Perpindahan [konsumsi BBM] ke Pertamax ada, tapi yang untung-kan Pertamina dan Pemerintah. Idealnya harga Pertamax turun, Pertalite juga,” tegas Bhima.
Berikut daftar harga BBM Pertamina pada Juni 2025 untuk kawasan Jabodetabek:
- Pertalite: Rp10.000/liter
- Pertamax: Rp12.100/liter
- Pertamax Green: Rp12.800/liter
- Pertamax Turbo: Rp13.050/liter
- Dexlite: Rp12.740/liter
- Pertamina Dex: Rp13.200/liter
-- Dengan asistensi Azura Yumna Ramadani Purnama
(wdh)

































