Lanskap global membuka pekan dengan ketegangan yang meningkat. Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan rencana untuk menggandakan tarif impor baja dan aluminium. Sementara itu, harga minyak melonjak sekitar 2% seiring peningkatan pasokan yang bersaing dengan risiko geopolitik yang semakin memanas.
Pasar kembali dibayangi ketidakpastian kebijakan perdagangan dan perundingan internal Kongres AS terkait rancangan undang-undang besar tentang pajak dan belanja negara.
“Menavigasi ekonomi global dan mengelola volatilitas pasar modal memang selalu menantang, tetapi ketidakpastian yang datang dari Washington membuat situasi ini semakin berisiko,” tulis Marc Chandler, Kepala Strategi Pasar di Bannockburn Capital Markets, dalam sebuah catatan, dilansir dari Bloomberg.
Obligasi pemerintah AS (Treasury) mencatatkan kerugian bulanan pertama sepanjang tahun ini pada Mei, tertekan oleh ketidakpastian tarif yang kembali muncul dan kekhawatiran atas tingginya utang pemerintah. Imbal hasil obligasi bertenor 30 tahun naik untuk bulan ketiga berturut-turut — tren terpanjang sejak 2023 — seiring Trump berupaya meloloskan rancangan undang-undang pemotongan pajak di Kongres.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, akhir pekan lalu kembali menegaskan bahwa negaranya “tidak akan pernah gagal bayar,” meskipun tenggat waktu untuk menaikkan plafon utang federal semakin dekat.
Pada saat yang sama, ketegangan di Eropa meningkat pesat setelah Ukraina melancarkan serangkaian serangan dramatis di seluruh Rusia, mengerahkan drone yang disembunyikan di truk-truk jauh di dalam negeri untuk menyerang lapangan udara strategis hingga Siberia timur.
Sekitar waktu yang sama, Moskow meluncurkan salah satu serangan drone dan rudal terpanjangnya terhadap Kyiv, yang meningkatkan ketegangan menjelang pembicaraan damai penting minggu ini.
Inflasi dan kinerja dagang
Hari ini, Badan Pusat Statistik akan menggelar konferensi pers mengumumkan data inflasi bulan Mei serta kinerja dagang pada April.
Konsensus pasar sejauh ini memperkirakan terjadi deflasi pada bulan Mei lalu sebesar 0,14% month-on-month. Inflasi tahunan diperkirakan tercatat menurun jadi 1,87% dibanding April 1,95%. Inflasi inti diprediksi akan tetap stabil di 2,50%.
Adapun kinerja ekspor pada April diprediksi naik 5,25%, dibanding April sebesar 3,16%. Sementara impor diperkirakan naik 6,54% dari sebelumnya 5,34%.
Alhasil, pasar memperkirakan nilai surplus dagang RI pada April mengecil jadi US$ 2,85 miliar dari capaian bulan sebelumnya sebesar US$ 4,32 miliar.
Pagi ini, S&P Global merilis data aktivitas manufaktur RI pada Mei di mana angkanya masih terjebak di zona kontraksi meski ada sedikit perbaikan di angka 47,4. Pada bulan April lalu, PMI manufaktur Indonesia ambles ke level 46,7, yang menjadi level terburuk dalam lima tahun terakhir.
Pekan perdagangan kali ini masih akan berlangsung lebih singkat karena ada peringatan Hari Raya Idul Adha pada Jumat nanti. Alhasil, perdagangan hanya akan berlangsung selama empat hari bursa saja.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi kembali akan melemah, mencermati sejumlah sentimen yang menekan, dengan target pelemahan menuju level Rp16.310/US$ yang merupakan support pertama dengan target pelemahan kedua akan tertahan di Rp16.350/US$.
Apabila kembali break kedua support tersebut, terlebih lagi di sepekan perdagangan ke depan, rupiah berpotensi melemah lanjutan dengan menuju level Rp16.400/US$ sebagai support terkuat.
Jika nilai rupiah terjadi penguatan hari ini, resistance menarik dicermati ada pada level di kisaran Rp16.250/US$ dan selanjutnya Rp16.200/US$ hingga Rp16.180/US$ potensial.
(rui)




























