Meski akhirnya mencapai konsensus untuk peningkatan pasokan Juli, beberapa anggota menyampaikan keberatan.
Dalam diskusi Sabtu, Rusia termasuk negara yang merekomendasikan jeda dalam tren kenaikan pasokan, kata para delegasi yang meminta identitasnya dirahasiakan karena sifat pembicaraan yang tertutup.
Harga minyak sempat anjlok ke level terendah dalam empat tahun, di bawah US$60 per barel pada April, setelah OPEC dan sekutunya mengumumkan akan meningkatkan produksi hingga tiga kali lipat dari jumlah yang dijadwalkan.
Selain itu, permintaan belakangan ikut tertekan akibat kebijakan tarif yang didorong Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Para delegasi menyampaikan berbagai alasan atas manuver Arab Saudi—yang selama ini dikenal getol mempertahankan harga tinggi dengan membatasi pasokan.
Ada yang menyebut keputusan ini sebagai upaya Riyadh untuk meredakan tekanan dari Trump. Ada pula yang menilai langkah ini bertujuan merebut kembali pangsa pasar yang sempat diambil oleh produsen AS dan kompetitor lainnya.
Di sisi lain, ada yang melihat langkah ini sebagai tanggapan atas meningkatnya permintaan global, atau bahkan sebagai bentuk "hukuman" terhadap anggota seperti Kazakhstan dan Irak yang kerap melanggar kuota produksi. Namun, kemungkinan besar keputusan ini merupakan gabungan dari semua motif tersebut.
Perubahan strategi ini datang dengan konsekuensi. Meski harga minyak yang turun memberi ruang bernapas bagi konsumen dan bank sentral yang tengah menghadapi tekanan inflasi, kondisi ini justru mengancam pendapatan negara-negara produsen minyak, termasuk anggota OPEC+.
Saat ini, harga Brent bertengger di kisaran US$64 per barel. Padahal, menurut estimasi Dana Moneter Internasional (IMF), Arab Saudi membutuhkan harga di atas US$90 untuk menopang berbagai proyek ambisius Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
Defisit anggaran kerajaan terus melebar, dan investasi pada proyek-proyek unggulan seperti kota futuristik Neom mulai mengalami pemangkasan.
Tekanan harga juga terasa di jantung industri minyak serpih Amerika Serikat. Perusahaan seperti Diamondback Energy Inc. menyatakan bahwa produksi telah mencapai puncaknya.
Jika strategi Riyadh adalah menertibkan pelanggar kuota lewat tekanan terukur, tampaknya upaya tersebut belum membuahkan hasil.
Kazakhstan, pelanggar paling mencolok, terus memproduksi minyak melebihi batas kuota hingga ratusan ribu barel per hari. Bahkan, pemerintahnya secara terbuka menyatakan tak berniat untuk patuh.
Menteri Energi Yerlan Akkenzhenov mengatakan pada Kamis bahwa pemerintah tidak dapat memaksa mitra internasional untuk menurunkan produksi, juga tidak berencana memangkas produksi di ladang migas milik negara.
(bbn)
































