Saat itu, kata Bahlil, Indonesia bisa mencatatkan lifting sekitar 1,6 juta barel per hari (bph) dengan konsumsi domestik hanya 600.000 hingga 700.000 bph.
Per 2024, lifting minyak hanya tinggal 580.000 bph di tengah konsumsi yang naik menjadi 1,6 juta bph. Bahlil pun menduga penurunan itu bukan hal yang terjadi secara alami.
“Kenapa saya katakan by design? saya bukan lulusan ITB, saya bukan ahli minyak, dan saya enggak punya bisnis minyak tapi saya diajarkan [...], setiap ada masalah, di situ ada peluang,” kata Bahlil.
Dia merasa janggal lantaran Indonesia memiliki sumber daya alam untuk menghasilkan minyal. Saat ini, menurut dia, terdapat 6.402 sumur minyak menganggur atau idle well tidak berproduksi.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.457 sumur masih berpotensi untuk diproduksi. Bahkan, Kementerian ESDM menargetkan dapat mengaktifkan kembali 1.006 sumur idle pada tahun ini.
"Atau ini sengaja diturunkan agar [Indonesia] impor terus?," imbuh Bahlil.
Secara terpisah, Guru Besar Teknik Perminyakan di Institut Teknologi Bandung (ITB) Tutuka Ariadji menilai lifting minyak yang signifikan hanya dapat dilakukan dengan satu syarat, yaitu peningkatan cadangan.
Dalam hal ini, Tutuka—yang juga mantan Dirjen Migas Kementerian ESDM — menilai peningkatan cadangan hanya dapat dilakukan melalui dua cara atau metode.
Pertama, eksplorasi di Wilayah Kerja (WK) hulu migas yang sedang dikembangkan dan di area baru.
"Kedua, penerapan teknologi [lebih] lanjut seperti optimasi water flooding dan enhanced oil recovery [EOR] yang menargetkan peningkatan cadangan dari yang sudah ada atau diketahui," ujar Tutuka kepada Bloomberg Technoz, Sabtu (24/5/2025).
(mfd/naw)
































