Pada Februari 2025, Republik Demokratik Kongo (DRC) mengumumkan penangguhan ekspor kobalt selama empat bulan untuk mengekang penurunan harga.
“Saat ini, lebih dari separuh kelompok mineral terkait energi yang lebih luas tunduk pada beberapa bentuk kontrol ekspor,” papar IEA.
Tren pembatasan ekspor mineral tidak hanya bertambah jumlahnya, tetapi juga meluas cakupannya hingga melibatkan tidak hanya bahan mentah dan olahan, tetapi juga teknologi pemrosesan, seperti litium dan pemurnian tanah jarang.
Konsentrasi pasar yang tinggi meningkatkan kerentanan terhadap guncangan pasokan, terutama jika, karena alasan apapun, pasokan dari negara produsen terbesar terganggu.
“Ketika pemasok terbesar dan permintaannya dikecualikan, keseimbangan pasar secara keseluruhan menjadi sangat berbeda,” tulis lembaga yang bermarkas di Prancis itu.
Di Indonesia sendiri, larangan ekspor mineral bijih sudah digalakkan pemerintah sejak lama. Salah satu yang paling sukses adalah larangan ekspor bijih nikel untuk diolah di dalam negeri melalui industri smelter.
Indonesia sudah lebih dahulu menerapkan larangan ekspor bijih logam sejak 2020 dan meningkatkan nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di negara ini.
Tembaga dan Litium
Bagaimanapun, IEA masih memproyeksikan keseimbangan pasokan-permintaan mineral penting hingga 2035 relatif membaik dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, meski kekhawatiran utama tetap ada, terutama untuk tembaga.
Untuk nikel, kobalt, grafit, dan tanah jarang; pasokan diharapkan dapat mengejar pertumbuhan permintaan yang diproyeksikan berdasarkan pengaturan kebijakan saat ini, jika proyek yang direncanakan berjalan sesuai jadwal.
Namun, tembaga dan litium merupakan pengecualian utama.
“Meskipun permintaan tembaga kuat dari elektrifikasi, jalur proyek pertambangan tembaga saat ini menunjukkan potensi kekurangan pasokan sebesar 30% pada 2035 karena penurunan kadar bijih, kenaikan biaya modal, terbatasnya penemuan sumber daya, dan waktu tunggu yang lama,” terang IEA.
Untuk litium, pasar jangka pendek tampak memiliki pasokan yang baik, tetapi permintaan yang tumbuh pesat diperkirakan akan mendorong pasar ke defisit pada 2030-an.
Namun, prospek untuk mengembangkan proyek litium baru jauh lebih menguntungkan daripada tembaga.
(wdh)
































