Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Keputusan Bank Indonesia memangkas bunga acuan, BI rate, sebesar 25 basis poin menjadi sebesar 5,50%, menyiratkan kekhawatiran yang makin meningkat tentang prospek pertumbuhan ekonomi RI ke depan sehingga membutuhkan respons kebijakan lebih akomodatif. 

Langkah pelonggaran moneter melalui pengguntingan BI rate, diharapkan bisa menahan kemerosotan ekonomi domestik ke depan di tengah ancaman eksternal yang masih besar, termasuk yang terbesar adalah perang dagang global.

Dalam pernyataannya ketika mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, perekonomian RI membutuhkan upaya penguatan serta suku bunga yang lebih rendah ke depan.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini diturunkan oleh Bank Indonesia dari kisaran 4,7%-5,5% menjadi 4,6%-5,4%. Kredit perbankan juga dipangkas turun proyeksinya dari 11%-13% menjadi hanya berkisar 8%-11% pada tahun ini.

Penurunan BI rate menjadi bagian dari upaya menstimulasi perekonomian domestik agar tak semakin melemah.

Beberapa indikator ekonomi pada kuartal II ini, menurut Perry, menunjukkan kebutuhan dukungan kebijakan yang lebih akomodatif. 

"Ke depan, BI akan terus mengarahkan kebijakan moneter untuk menjaga inflasi dalam sasaran, menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamental serta mencermati ruang untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dinamika yang terjadi pada perekonomian global dan domestik," kata Gubernur Perry.

Perry juga mengatakan, kebijakan makroprudensial akomodatif akan terus dioptimalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan berbagai strategi untuk mendorong pertumbuhan kredit dan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan. 

Perbankan diharapkan bisa menurunkan suku bunga untuk mendukung penyaluran kredit ke sektor riil, supaya roda perekonomian bergulir lebih kuat.

Akan halnya dengan rupiah, BI memilih akan makin memperkuat strategi intervensi langsung ke pasar spot, pasar forward domestik maupun offshore, juga ke pasar surat berharga negara, untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

"Kondisi global masih tidak pasti karena kesepakatan AS dan China itu sementara, 90 hari, jadi kami tetap waspada. BI tidak segan-segan jaga stabilitas rupiah melalui intervensi di pasar NDF offshore, juga pasar domestik, pasar spot dan pembelian SBN di dalam negeri," kata Perry.

Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson menilai, prospek penurunan BI rate pada sisa tahun ini masih tersisa sekitar 25 basis poin lagi atau satu kali kesempatan pemangkasan.

Namun, peluang cut rate pada Juni nanti sepertinya belum ada terutama karena situasi global yang mungkin akan kembali membebani, jelang berakhirnya jeda 90 hari tarif resiprokal AS.

Selain itu, secara musiman, bulan-bulan ini sampai sekitr Agustus, biasanya tekanan terhadap rupiah membesar karena kedatangan musim pembayaran dividen korporasi, serta periode jatuh tempo utang luar negeri pemerintah yang mungkin akan memberi tekanan pada suplai valas domestik.

Keputusan BI siang ini sesuai ekspektasi pasar di mana hasil konsensus meski tak bulat, memperkirakan akan ada penurunan bunga acuan karena rupiah yang sudah menguat sementara alarm pelemahan ekonomi berbunyi makin keras.

Pasar merespon keputusan itu dengan semringah. IHSG sempat melesat naik 1% sebelum akhirnya mengurangi kenaikan dengan ditutup menguat 0,6% di level 7.142.

Sementara rupiah yang sempat agak tertekan sebelum keputusan BI rate diumumkan, akhirnya ditutup menguat di level Rp16.395/US$.

Adapun tingkat imbal hasil surat utang negara mayoritas turun di mana tenor 2Y terpangkas ke level 6,234%, lalu tenor 5Y juga turun yield-nya ke 6,469%. Serta tenor 10Y juga makin rendah tingkat imbal hasilnya jadi 6,827%.

(rui)

No more pages