“Akan tetapi, kalau sudah terlalu mahal, ya enggak dikerjain juga,” tegasnya.
Dia mencontohkan apabila suatu blok migas memiliki cadangan gas dengan tingkat karbon dioksida (CO2) hampir 90%, dibutuhkan teknologi tambahan untuk memisahkan karbon tersebut dari pipa.
Hal tersebut menyebabkan nilai investasi dari proyek CCS di blok tersebut menjadi terlalu mahal dan tidak sebanding dengan nilai keekonomiannya.
“Nah yang seperti itu kita tidak kerjakan. Ekstrem itu ada dua. Ekstrem yang satu kita bisa kerjakan selama cost-nya masih justifiable, di-cover cost recovery, dan kita bisa jual gasnya ke customer. Namun, kalau ekstren yang CO2nya sudah 90%, ya [tidak bisa].”
Sebelumnya, teknologi CCS ditargetkan bakal diterapkan di Indonesia pada 2030 atau bahkan lebih cepat dengan nilai investasi mencapai sekitar US$38 miliar atau Rp638 triliun.
“Investasi yang telah masuk sekarang untuk pre-project karena proyeknya itu baru onstream pada 2030. Investasi ini sekitar US$38 juta dari berbagai perusahaan, dari multinational company, dan juga national oil company," kata Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladona Troxylon Maulianda dalam agenda The 3rd IICCS Forum 2025, akhir April.
Belladona menyebut Indonesia memiliki keunggulan untuk memasifkan teknologi CCS, salah satunya ialah potensi tempat penyimpanan karbon dioksida di bawah tanah yang cukup besar, yakni mencapai 600 gigaton (GT).
"Kalau kita taruh dalam konteks emisi kita itu sekitar 600 juta ton per tahunnya. Jadi, 600 GT dibagi 600 juta itu bisa kita simpan sekitar 1.000 tahun kalau hanya untuk emisi domestik. Namun, kalau kita ingin menyimpan CO2 dari negara-negara tetangga untuk mendapatkan pendapatan, dikombinasikan dengan emisi domestik, kita bisa menyimpan sekitar 200 tahun," papar dia.
Dengan adanya potensi bisnis CCS, Indonesia juga bakal mendapat fee dari negara lain yang menyimpan emisinya pada salin akuifer di Tanah Air. Dalam kaitan itu, RI butuh pembangunan infrastruktur yang kemudian berdampak pada pembukaan lapangan pekerjaan.
Belladona memperkirakan ada sekitar 170.000 lapangan pekerjaan yang terbuka dari sektor konstruksi, teknik, hingga pengawasan atau monitoring, reporting, and verification (MRV).
"Dia juga bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan GDP. Jadi kita telah menghitung, pertumbuhan GDP ini bisa sekitar 0,8%—1%,” ucapnya.
(wdh)


































