Saat masa-masa awal pasar kembali dibuka setelah libur panjang Idul Fitri, rupiah memang sempat melemah tajam. Bahkan mata uang Ibu Pertiwi sempat menyentuh level terlemah sepanjang sejarah.
Perlahan tetapi pasti, rupiah mampu bangkit. Dalam sebulan terakhir, rupiah terapresiasi lebih dari 2% terhadap dolar AS.
Arus modal asing pun deras masuk ke pasar keuangan Tanah Air. Pekan lalu, investor asing membukukan beli bersih (net buy) Rp 5,05 triliun di pasar saham. Jauh membaik ketimbang minggu sebelumnya yang jual bersih (net sell) Rp 3,26 triliun.
Oleh karena itu, rasanya BI tidak perlu cemas terhadap rupiah. Saat ini rupiah sudah relatif stabil, sehingga penurunan suku bunga boleh dipertimbangkan.
Ekonomi Melambat
“Bank sentral juga harus menyeimbangkan antara rupiah dengan ambisi pertumbuhan ekonomi. Permintaan domestik tidak sekuat yang diharapkan,” lanjut Henderson.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,87% year-on-year (yoy). Ini menjadi yang terlemah sejak kuartal III-2021, saat pandemi Covid-19 varian delta mengganas sampai pemerintah terpaksa menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang membuat ekonomi ‘mati suri’.
Meski ada Ramadan-Idul Fitri, tetapi konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,89% yoy. Ini menjadi yang terendah sejak kuartal IV-2023.
“Dari sisi inflasi, inflasi inti pada April berada di 2,5% yoy. Menandakan tekanan harga sudah cukup tepat,” tambah Henderson.
Penguatan rupiah, perlambatan ekonomi, dan inflasi yang relatif terjaga membuat ruang penurunan BI Rate memang terbuka. Indonesia membutuhkan stimulus untuk melancarkan laju roda perekonomian, dan salah satu yang diharapkan adalah stimulus moneter berupa penurunan suku bunga.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga memperkirakan BI Rate bisa turun. "Kami melihat akan adanya ruang BI Rate dipangkas sekali lagi ke angka 5,5%. Mungkin paling cepat, kalau memang rupiahnya relatif stabil, ada ruang pemangkasan suku bunga acuan 25 bps di RDG di bulan ini," tegasnya.
Selanjutnya, Andry memproyeksikan inflasi tetap rendah dan berada dalam kisaran BI sebesar 1,5-3,5%. "Terakhir dari interest rate, benchmark rate, dibandingkan dengan negara-negara lain juga masih relatively kompetitif," ujarnya.
(aji)




























