Logo Bloomberg Technoz

Sedangkan enam sumber pertumbuhan lain semua masih negatif secara kuartalan pada tiga bulan pertama 2023, dipimpin oleh konsumsi pemerintah (-45,38%) sesuai pola historisnya, disusul masing-masing oleh kinerja ekspor barang dan jasa (-5,4%), dikurangi impor barang dan jasa (-6,95%), investasi PMTB (-3,72%), serta konsumsi LNPRT (-0,97%).

Laju kredit bank makin lambat

Wajah perlambatan ekonomi domestik juga terlihat dari kinerja penyaluran kredit perbankan yang terperosok ke level terendah sejak Maret 2022. BI melaporkan, pada April lalu kredit perbankan hanya mampu tumbuh 8,08%, melambat dibanding Maret yang masih 9,93%. 

Ini tidak bisa dilepaskan dari dua hal yaitu dampak pengetatan moneter dan suramnya permintaan baik di ranah domestik maupun global terimbas perlambatan ekonomi dunia yang mempengaruhi appetite korporasi dalam mengajukan kredit baru ke bank.

Laju pertumbuhan kredit perbankan semakin melambat ke level terendah 12 bulan (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Sejak BI menaikkan bunga acuan pada Agustus tahun lalu pertumbuhan kredit berfluktuasi akan tetapi bertahan di level double digit. Pada Oktober lalu, pertumbuhan kredit masih di level 11,95%, lalu turun 11,16% pada bulan berikutnya meski naik lagi pada Desember di 11,35%. Akan tetapi, sejak Januari laju pertumbuhan kredit melambat secara konsisten hingga terperosok ke single digit berturut-turut pada Maret-April 2023.

Yang menjadi isu adalah ketidakpastian di pasar keuangan global yang masih berlanjut. Sehingga fokusnya adalah stabilisasi rupiah supaya imported inflation tetap rendah dan dampak rambatan dari ketidakpastian pasar keuangan bisa dimitigasi.

Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia

BI menjelaskan, penurunan laju kredit bank itu adalah buntut dari tren korporasi- korporasi berorientasi ekspor yang sejauh ini lebih memilih melunasi beban utangnya lebih dulu sebelum memutuskan ekspansi bisnis. Kredit modal kerja mencatat pertumbuhan terendah sebesar 6,55%, disusul kredit konsumsi 8,68%. Adapun kredit investasi masih mencetak pertumbuhan double digit di 10,12%.

“Penurunan pertumbuhan kredit adalah salah satu yang kami diskusikan dalam RDG kenapa beberapa bulan ini, kok, turun. Korporasi kinerja bagus akan tetapi apakah ada perilaku korporasi khususnya yang export-oriented mungkin lebih baik lunasi kredit sebelum menentukan ekspansi lanjutan,” jelas Perry.

Belum akan pangkas bunga

Berbagai sinyal perlambatan ekonomi itu nyatanya belum menggoyahkan bank sentral berbalik arah memangkas bunga demi menstimulasi pertumbuhan domestik yang mulai kendur.

Bunga acuan BI7DRR kembali ditahan untuk empat kali berturut-turut bulan ini. Dalam paparan hari ini, bank sentral melontar sinyal lebih tegas bahwa bunga acuan domestik masih akan ditahan di level saat ini, kemungkinan hingga akhir tahun, menyusul masih tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global yang berisiko menggoyang stabilitas nilai tukar rupiah. 

“Yang menjadi isu adalah ketidakpastian di pasar keuangan global yang masih berlanjut. Sehingga fokusnya adalah stabilisasi rupiah supaya imported inflation tetap rendah dan dampak rambatan dari ketidakpastian pasar keuangan bisa dimitigasi,” jelas Perry. 

Pasar keuangan global saat ini memang masih dibayangi ketidakpastian arah puncak bunga acuan Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat (AS). BI melihat puncak bunga Fed Fund Rate sudah tercapai saat ini di 5,25% dengan kemungkinan kenaikan pada Juni nanti terbilang kecil. Akan tetapi bila melihat inflasi di negeri paman sam yang masih keras kepala, BI melihat Fed belum akan pivot akhir tahun ini sebagaimana ekspektasi mayoritas pelaku pasar. 

Stabilitas rupiah menjadi fokus utama BI di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi (Bloomberg)

Isu debt ceiling atau batas pagu utang AS juga memberi bobot tekanan lebih besar pada ketidakpastian pasar global meski secara historis akan ada ujung kompromi di detik-detik akhir. Akan tetapi sebelum itu dicapai, setidaknya sampai bulan depan, turbulensi pasar masih akan tinggi. 

Baca juga: BI Waspadai Nilai Tukar Rupiah dari Dampak AS Gagal Bayar Utang

“Kami melihat ada anomali di mana FFR sudah sudah naik, ada [polemik] debt ceiling, indeks dolar AS masih kuat, tekanan depresiasi nilai tukar terjadi di seluruh dunia di mana euro melemah, mata uang dunia melemah [terhadap dolar AS],” jelas Perry. 

Rupiah mengalami pelemahan selama tujuh hari dari sembilan hari perdagangan terakhir sebesar 0,4%. Hari ini USD/IDR ditutup di level Rp14.950/US$ di pasar spot. Meski begitu, "BI memprakirakan penguatan rupiah berlanjut ditopang surplus transaksi berjalan dan aliran masuk modal asing seiring prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi yang rendah, serta imbal hasil aset keuangan domestik yang menarik," papar Perry.

Bila menilik dari awal April, nilai tukar rupiah memang masih menguat 0,62% hingga 24 Mei lalu. Sedangkan sejak awal tahun, penguatan rupiah tercatat 4,48%. 

Selain faktor eksternal yang membuat BI memilih fokus menstabilkan nilai tukar rupiah alih-alih pivot demi mendorong pertumbuhan ekonomi, sejatinya dari sisi inflasi juga masih belum memberi peluang penurunan bunga acuan. Inflasi inti sudah terjangkar di kisaran target bank sentral, akan tetapi inflasi IHK diperkirakan baru berhasil dijinakkan pada kuartal III-2023. 

Dengan demikian, menahan bunga acuan sampai akhir tahun menjadi pilihan terbaik demi membantu stabilitas nilai tukar, juga mengendalikan imported inflation serta mengantisipasi dampak rambatan dari ketidakpastian pasar keuangan global.

Stability over growth, menjadi mantra BI setidaknya sampai akhir tahun ini.

(rui/evs)

No more pages