Merespons hal tersebut, Gabungan Industri Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai keputusan itu terkesan terburu-buru.
Hal tersebut lantaran dilakukan di tengah gejolak perang dagang akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS), yang juga kemungkinan akan mempengaruhi industri negara produsen CPO seperti Indonesia, termasuk negara produsen lain.
"Jadi, saya kira harusnya tidak dilakukan sekarang. Harusnya menunggu sampai 2 bulan, atau terjadi kesepakatan perdagangan perundingan tarif ke US, sehingga respons lebih akurat," ujar Ketua Bidang Luar Negeri Gapki Fadhil Hasan saat dihubungi, Kamis (15/5/2025).
Selain itu, Fadhil juga mewanti-wanti keputusan tersebut akan menggerus daya saing CPO dalam negeri beserta turunnya terhadap kompetitor atau negara-negara produsen lain.
Dengan kata lain, PE ini juga otomatis nantinya akan mengerek harga minyak sawit Indonesia semakin mahal, yang pada akhirnya akan kurang kompetitif dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia.
"Ini akan menambah daya saing produk sawit di Indonesia dengan Malaysia. Daya saing akan semakin tertekan, beda [harganya] semakin melebar," kata dia.
Kebikan tersebut, kata dia, juga dapat menghilangkan pasar negara ekspor CPO Indonesia. Pasalnya, kenaikan PE CPO tersebut akan berpotensi mengerek harga ekspor komoditas paling andalan dalam negeri, yang pada akhirnya juga menggerus daya saing CPO dalam negeri akibat harga yang tidak kompetitif.
"Iya, [pasar ekspor kita] mungkin bisa beralih," kata Fadhil.
(ibn/del)































