Bloomberg Technoz, Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyebut pemerintah akan segera menyederhanakan aturan cukai untuk etanol untuk bahan baku bioetanol, yang rencananya akan menjadi program mandatori.
Yuliot mengatakan Kementerian ESDM telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar etanol untuk bahan baku bioetanol dibebaskan dari cukai, lantaran penggunaannya berbeda dengan etanol untuk bahan baku minuman beralkohol.
“Jadi selama ini persepsinya itu adalah etanol digunakan untuk minuman, sehingga perlu penjelasan. Jadi ada prosedur tambahan,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Jumat (16/5/2025).
Yuliot belum bisa mendetailkan kapan rencana mandatori bioetanol 5% atau E5 akan diberlakukan. Namun, dia mensinyalir pemerintah akan merapikan regulasinya terlebih dahulu agar program tersebut bisa berjalan lancar.

“Jadi ke depan ini kita akan melakukan proses simplifikasi. Dalam hal ini, perizinan dan perusahaan, juga untuk pengenaan cukainya kalau digunakan untuk bahan baku [bioetanol],” terang Yuliot.
“Karena bahan baku itu tadi kan akan disediakan dari dalam negeri. Jadi ini tidak ada cukai itu langsung masuk ke industri digunakan untuk bahan bakar.”
Persoalan hambatan cukai etanol dalam produksi bioetanol di dalam negeri dikemukakan oleh mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, akhir Agustus 2023.
Saat itu, dia meminta pemerintah menghapuskan cukai etanol yang akan digunakan sebagai bahan baku bauran bioetanol untuk bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan, termasuk proyek Pertamax Green.
Nicke mengutarakan produksi bensin bauran bioetanol Pertamina bukan ditujukan untuk mencari untung. Sebab, komoditas etanol masih dikenai cukai Rp20.000/liter lantaran dianggap sebagai produk alkohol.
“Jadi kami minta pembebasan cukai supaya kita bisa dorong karena manfaatnya sangat besar. Kita melihat dari sisi regulasi sebenarnya sudah ada. Mandatorinya itu dimulai dari 2015 dengan E2 [bauran etanol 2%], pada 2016 secara aturan harusnya naik jadi E5, lalu 2020 menjadi E10, dan secara gradual meningkat sampai 2025 itu E20," ujarnya saat itu.
Terkait dengan produksi bensin bauran bioetanol, Nicke mengatakan bahan bakar nabati (BBN) berbasis tetes (molasses) tebu tersebut adalah yang paling masuk akal dikembangkan di dalam negeri.
Salah satu anak usaha PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dikatakan dapat memproduksinya dengan kapasitas 30.000 ton per tahun.
Untuk saat ini suplai bioetanol untuk bauran BBM Pertamina masih didatangkan dari Jawa Timur, yang notabene kantong produksi tebu di Indonesia, meski tidak disebutkan volumenya. Adapun, bauran tersebut dikirim melalui terminal BBM terintegrasi di Surabaya langsung ke Jakarta.

Peta Jalan
Kementerian ESDM sebelumnya berencana untuk menargetkan bauran bioetanol pada jenis bahan bakar minyak (BBM) umum (JBU) sebesar 10% pada 2030.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan target tersebut bakal termaktub dalam revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, yang saat ini masih berjalan.
Adapun, bauran tersebut direncanakan bakal berjalan secara bertahap mulai dari 5% pada 2025.
“Kementerian ESDM tugasnya terkait perbaikan revisi saat ini lagi berjalan dan tahapan sedang kita lakukan. Kita mulai dari 2025 dengan 5% bertahap, 2029 10% dan 2030 10% pencampuran [dengan JBU],” ujar Edi dalam konferensi pers di kantor Kementerian ESDM, awal September tahun lalu.
Edi memastikan rencana tersebut juga sesuai dengan peta jalan atau roadmap yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN).
Dalam beleid tersebut, Edi mengatakan, pemerintah menargetkan peningkatan produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu paling sedikit sebesar 1,2 juta kiloliter (kl) pada 2030.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan terdapat beberapa skenario rencana BBN dalam revisi Permen ESDM No. 32/2008 tersebut, yakni:
1. Bioetanol pada bbm Jenis Minyak Bensin (JBU):
- 2024—2028: 5%
- 2029—2035: 10%
2. Biodiesel pada BBM Jenis Minyak Solar (Jenis BBM Tertentu/JBT):
- 2024: 35%
- 2025—2027: 40%
- 2028—2035: 50%
3. Biodiesel pada BBM Jenis Minyak Solar (JBU):
Skenario 1:
- 2024: 35%
- 2025—2027: 40%
- 2028—2035: 50%
Skenario 2:
- 2024—2027: 35%
- 2028—2035: 40%
4. Diesel Biohidrokarbon pada BBM Jenis Minyak Solar (JBU):
- 2025—2027: 5%
- 2028—2035: 10%
5. Bensin Biohidrokarbon pada BBM Jenis Minyak Bensin (JBU):
- 2026—2034: 5%
- 2035: 10%
5. Bioavtur pada Jenis Avtur (JBU):
- 2027—2029: 1%
- 2030—2034: 2,5%
(wdh)