Penurunan ini juga diprediksi akan memicu perdebatan politik mengenai kebutuhan pemotongan pajak atau pemberian bantuan tunai menjelang pemilu majelis tinggi musim panas nanti. Tingkat persetujuan terhadap Ishiba terus tertekan, dengan survei lokal mencatat level terendah sepanjang masa jabatannya pada bulan ini.
Biaya hidup terus meningkat jauh di atas target inflasi 2% BOJ sepanjang tahun ini, terutama dipicu oleh lonjakan harga pangan. Harga beras—makanan pokok utama Jepang—terus melambung pada Maret, naik 92% dibandingkan tahun sebelumnya. Akibatnya, sejumlah sekolah negeri terpaksa mengurangi jatah makan siang yang menyajikan beras dari tiga kali menjadi dua kali seminggu, menurut laporan NHK, lembaga penyiaran publik Jepang.
Sambil menunggu inflasi yang mereda dan kenaikan upah riil, pekan ini Honda Motor Co memangkas proyeksi laba tahun fiskalnya akibat tarif AS. Langkah ini mengikuti penyesuaian serupa dari Toyota Motor Corp. Sinyal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para pembuat kebijakan, karena perusahaan besar seperti Toyota dan Honda selama ini menjadi penentu utama dalam perundingan upah yang menghasilkan kenaikan tertinggi dalam tiga dekade terakhir selama dua tahun berturut-turut.
Gelombang pertama tarif dari AS dimulai pada Maret, ketika Trump memberlakukan bea masuk sebesar 25% untuk baja dan aluminium. Tarif serupa juga dikenakan untuk mobil pada April, disertai tarif universal sebesar 10% terhadap produk Jepang, yang dijadwalkan naik menjadi 24% dalam beberapa bulan mendatang jika kesepakatan dagang tak tercapai.
Jepang belum menunjukkan kemajuan berarti dalam pembicaraan dagang, meskipun Menteri Keuangan AS Scott Bessent bulan lalu menyebut bahwa negosiasi dengan Jepang menjadi prioritas. Sementara Washington telah mencapai kesepakatan dengan Inggris dan melakukan gencatan senjata sementara dengan China, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick awal bulan ini mengatakan bahwa “akan butuh waktu yang sangat panjang” untuk menyelesaikan kesepakatan dengan Tokyo.
Jepang mengikuti jejak AS yang juga mencatatkan pertumbuhan negatif pada kuartal pertama. Dengan tingkat pertumbuhan potensial hanya sekitar 0,6%—yang terendah di antara negara-negara Kelompok Tujuh (G-7)—ekonomi Jepang tercatat mengalami setidaknya satu kontraksi kuartalan setiap tahunnya sejak pandemi.
(bbn)






























