Logo Bloomberg Technoz

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Siti Sumilah Rita Susilawati tidak menampik ekspor batu bara ke China sendiri juga masih penuh tantangan.

Penyebabnya, meski potensi kebutuhan energi China begitu besar, negara tersebut juga terus memacu produksi domestik batu baranya.

Untuk itu, Rita menyebut pemerintah telah melakukan langkah antisipasi dengan merintis diversifikasi pasar ekspor bagi komoditas energi fosil tersebut.

Kayak China, India; kalau mereka juga mempergunakan batu bara dalam negeri, pasti memengaruhi ke Indonesia. Akan tetapi, pemerintah juga mendiversifikasi pasarnya, tidak hanya ke China, India, tetapi ke tempat lain juga supaya kita tetap bisa memasarkan.”

Efek Tertunda

Dari perspektif ekonom, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat harga komoditas ekspor mineral dan batu bara (minerba) diperkirakan berangsur pulih, sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China usai kesepakatan tarif antara Beijing dan Washington awal pekan ini.

Namun, rebound harga komoditas minerba berlangsung lambat. Batu bara, sebutnya, terpantau hanya naik 0,5% di pasar internasional sepekan terakhir, lebih rendah dari penguatan harga minyak mentah sebesar 8,92% pada periode yang sama.

Sementara itu, harga referensi nikel internasional juga hanya menguat 0,6% pada rentang yang sama.

“Ada lag dari dampak perang dagang sebelumnya ke permintaan minerba. Meski mulai reda tensinya, tetapi permintaan sektor industri manufaktur dan properti di China masih sluggish,” kata Bhima.

Fenomena tersebut dibarengi dengan pelemahan kurs rupiah yang cenderung tertahan, sehingga membuat imported inflation atau meningkatnya harga barang impor bisa lebih kecil. Di sisi lain, cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah.

Untuk diketahui, pada Senin (12/5/2025), AS sepakat untuk memangkas tarif mereka terhadap barang-barang impor dari China dari sebesar 145% menjadi 30%, termasuk tarif yang dikenakan pada fentanil mulai 14 Mei hingga 90 hari ke depan. 

Sebaliknya, China juga bersedia menurunkan tarif mereka untuk barang-barang impor dari AS dari sebesar 125% menjadi 10%.

Hal itu disampaikan Menteri Keuangan AS Scott Bessent dalam taklimat media yang digelar di Jenewa.

(wdh)

No more pages