Jika BI-rate diturunkan, kata Fithra, itu akan memberikan stimulus moneter. Tetapi di sisi lain akan ada dampak rupiah yang terdepresiasi tajam. Sehingga akan turut membebani perekonomian Indonesia.
"Kalau rupiahnya itu terdepresiasi, itu juga membebani perekonomian kita juga. Makanya ini jadi dilema. Tapi menurut saya sih, di saat yang penuh dinamika seperti sekarang, saya rasa lebih pantas kalau misalnya BI rate itu tetap stay," ungkapnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh pengamat ekonomi Yanuar Rizki, bahwa jika BI rate diturunkan akan ada konsekuensi yang didapatkan oleh Bank Indonesia. Bahkan, Yanuar menyebut penurunan BI-rate tak akan efektif dilakukan.
"Mempertahankan. Atau menurunkan sekitar 0,25. Tapi harus dicatat, BI melakukannya dengan konsukuensi tidak akan efektif, karena akan terjadi ekses likuiditas ke portofolio lain," sebutnya pada Bloomberg Technoz.
Yanuar menyarankan, agar pemerintah mengirimkan sinyal yang dipercaya oleh rakyatnya sendiri agar kelas atas mau mentransaksikan uangnya dalam menggerakkan ekonomi di kelas menengah.
"Itu hanya bisa dilakukan kalau, sense of crisis ditunjukan pemerintah. Melakukan fokus yang terarah dari belanja fiskal yang fokus ke mitigasi. Menghentikan sinyal pemborosan anggaran demi glorifikasi, dan tegas melakukan tindakan hukum dalam membasmi korupsi," pungkasnya.
(lav)




























