Sementara itu, Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt menyebut keputusan ini sebagai “kemenangan BESAR lainnya di Mahkamah Agung,” dalam unggahannya di media sosial X.
Menteri Pertahanan Pete Hegseth menulis “No More Trans @ DoD” di akun X pribadinya. Dalam pidato yang disampaikan sebelumnya pada hari yang sama, Hegseth mengecam penggunaan “kata ganti” dan menyindir “laki-laki berkostum perempuan,” sambil menegaskan bahwa “kami selesai dengan hal-hal seperti itu.”
Di Mahkamah Agung, pihak pemerintah berargumen bahwa pengadilan seharusnya menghormati penilaian Presiden Trump yang menyatakan keberadaan orang transgender dalam militer merusak efektivitas pasukan. Namun para penentang menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki bukti untuk mendukung klaim tersebut, dan menekankan bahwa anggota militer transgender telah lama mengabdi dengan kehormatan.
Mahkamah Agung juga tengah mempertimbangkan perkara besar lainnya terkait hak transgender, yaitu soal undang-undang negara bagian yang melarang pemberian hormon pubertas, terapi hormon, dan operasi transisi bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Pilot Tempur
Trump mengeluarkan larangan tersebut melalui perintah eksekutif pada 27 Januari, yang menyebut bahwa menyatakan identitas gender “palsu” bertentangan dengan komitmen prajurit terhadap gaya hidup yang jujur, terhormat, dan disiplin, serta “tidak konsisten dengan kerendahan hati dan sikap tanpa pamrih yang dibutuhkan oleh seorang prajurit.”
Penggugat dalam kasus ini termasuk tujuh prajurit aktif dan seorang pria yang ingin bergabung dengan Korps Marinir. Gugatan ini dipimpin oleh Komandan Angkatan Laut Emily Shilling, seorang pilot yang telah menjalankan lebih dari 60 misi tempur. Shilling, yang pernah bertugas di Afghanistan dan Irak serta kini menjadi pilot uji coba Angkatan Laut, mengatakan bahwa militer telah menghabiskan lebih dari US$20 juta untuk melatih dirinya.
Shilling memulai transisinya di dalam militer sejak 2021, saat Presiden Joe Biden membuka kembali kesempatan bagi orang transgender untuk bertugas secara terbuka.
“Sikap permusuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kaum transgender mewarnai dan menyusupi larangan ini,” ungkap para penggugat kepada Mahkamah Agung. “Larangan ini didasarkan pada anggapan mengejutkan bahwa orang transgender tidak benar-benar ada.”
Hakim Distrik AS Benjamin Settle di Tacoma, Washington, menyatakan bahwa pemerintah belum membuktikan bahwa larangan tersebut “secara substansial berkaitan dengan pencapaian kekompakan unit, ketertiban yang baik, atau disiplin.” Ia menilai bahwa anggota militer saat ini dan yang bercita-cita bergabung kemungkinan besar akan mengalami berbagai pelanggaran konstitusional, termasuk hak atas perlindungan yang setara dan kebebasan berpendapat.
Pengacara utama pemerintah untuk Mahkamah Agung, Jaksa Agung AS D. John Sauer, berargumen bahwa putusan Settle memaksa pemerintah untuk “mempertahankan kebijakan yang telah dinilai bertentangan dengan kepentingan terbaik dinas militer dan keamanan nasional.”
Pengadilan banding federal di San Francisco menolak untuk menangguhkan putusan Settle, yang kemudian mendorong pemerintah membawa perkara ini ke Mahkamah Agung AS.
(bbn)
































