Beberapa pihak bahkan menyoroti potensi pelanggaran prinsip perlindungan data pribadi. Sejak diluncurkan, Worldcoin-WorldID disebut belum mempublikasikan white paper atau kode sumbernya untuk evaluasi publik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan validitas klaim keamanan datanya.
Edward Snowden seorang whistleblower dari National Security Agency menyindir keras proyek ini lewat cuitannya, "Mereka bilang 'kami menghapus pemindaian!' Ya, tapi kalian menyimpan hash-nya," ungkapnya sebagaimana mengutip dari MIT Technology.
Pratama Dahlian Persadha dari Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) menjelaskan bahwa autentikasi biometrik memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi karena pola iris manusia bersifat unik, tidak dapat diubah, dan sulit dipalsukan.
Akan tetapi hal ini "karena sifatnya yang tidak bisa diubah seumur hidup, data retina menjadi sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah," cerita Pratama kepada Bloomberg Technoz saat dihubungi, Selasa.
Dan saat "bocor atau disalahgunakan, individu yang bersangkutan tidak memiliki opsi untuk “mengganti” identitas biometriknya sebagaimana bisa dilakukan pada kata sandi atau bahkan kartu identitas."
Tools for Humanity (TFH)—perusahaan di balik protokol World—menyatakan bahwa sistem World dirancang untuk memverifikasi keunikan individu di era kecerdasan buatan tanpa menyimpan data pribadi pengguna.
General Manager Tools for Humanity Indonesia Wafa Taftazani, lantas merespons aksi Komdigi dengan menyebut bahwa TFH "telah mengantongi SPE sebelum diluncurkan di Indonesia. Saat ini, kami menghentikan sementara layanan verifikasi di Indonesia secara sukarela dan akan berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk meluruskan kekhawatiran yang ada."
(prc/wep)






























