Mineral Logam
Tidak hanya batu bara, Fathul mengestimasikan permintaan China untuk komoditas mineral logam juga akan naik untuk memenuhi kebutuhan industri domestik negara tersebut, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang positif.
Dari sisi internal, meski pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87%, Fathul meyakini PDB akan rebound pada kuartal kedua. Hal itu berkaca dari indikator makro ekonomi—seperti inflasi dan target investasi — yang masih baik.
“Dengan demikian, kebutuhan mineral dan batu bara domestik juga diproyeksikan dapat tumbuh pada semester II-2025,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pertambangan menjadi satu-satunya sektor lapangan usaha yang mengalami kontraksi sebesar 1,23% pada kuartal pertama.
Meski demikian, Fathul berpendapat kontraksi tersebut tidak kaan berkelanjutan lantaran komoditas pertambangan memang rentan terhadap shock permintaan global di tengah era perang dagang awal tahun ini.
Harga batu bara telah turun ke level terendah dalam lima tahun terakhir yang disebabkan kombinasi beberapa faktor, termasuk guncangan permintaan global dan peningkatan pasokan.
Secara spesifik, harga batu bara turun dari US$140/ton pada November 2024 menjadi US$99/ton pada Maret 2025.
“Penurunan ini disebabkan oleh pasokan batu bara yang lebih besar dibandingkan dengan permintaan, terutama dari negara-negara konsumen utama seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan,” kata Fathul.

Bagaimanapun, dia mengutip laporan International Energy Agency (IEA) yang memperkirakan permintaan batu bara global masih akan tetap tinggi hingga 2027, yaitu sekitar 8,77 miliar ton/tahun.
"Namun, permintaan yang tinggi ini diiringi dengan peningkatan suplai yang signifikan, dari negara produsen, termasuk Indonesia, Australia, Rusia, Mongolia, dan China tentunya, sehingga menekan harga turun,” kata Fathul.
Selain itu, tekanan terhadap permintaan dan harga batu bara juga terjadi karena persaingan dengan gas alam dan energi terbarukan sebagai energi primer di sektor pembangkit listrik yang semakin kompetitif.
Namun, harga gas alam telah mengalami tren kenaikan, per 30 April 2025 harga spot Henry Hub naik US$19 sen dari US$2,93/million british thermal units (MMBtu) ke US$3,12/MMBtu.
"Meskipun naik sedikit, ini menjadi peluang pembangkit listrik global untuk mulai beralih kembali ke batu bara sebagai energi primer yang murah,” ujarnya.
Sentimen Harga
Di sisi lain, Indonesia Mining Association (IMA) memproyeksikan industri pertambangan nasional pada 2025 masih akan dihadapkan pada tantangan kelesuan harga komoditas mineral logam, selain emas.
Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengatakan, secara umum, sentimen pasar komoditas pertambangan masih selanggam dengan yang terjadi pada 2024.
“Pada 2025, tren harga komoditas [masih] turun, kecuali emas. [...] Untuk emas saat ini sedang bagus, tembaga juga cukup bagus, sedangkan nikel tren harganya lagi turun,” ujarnya.
Dari dalam negeri, Hendra mengatakan industri pertambangan nasional pada 2025 dihadapkan pada isu kenaikan biaya operasional.
Kenaikan tersebut dipicu oleh berbagai regulasi yang diterapkan pemerintah, seperti tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik dari 11% menjadi 12% serta penyesuaian tarif royalti minerba.
Dari sektor batu bara, Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mensinyalir penyesuaian royalti bukan masalah utama yang dihadapi penambang.
“[Pada] 2025, [tantangan] yang terberat adalah kenaikan [mandatori biodiesel] B40, yang jelas secara signifikan menambah beban ke perusahaan,” ujarnya.
Bagaimanapun, dia tidak menampik industri pertambangan—khususnya batu bara — menjadi satu-satunya sektor lapangan usaha yang mengalami kontraksi dalam laporan pertumbuhan ekonomi tiga bulan pertama tahun ini.

Kondisi tersebut selaras dengan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menunjukkan adanya penurunan setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara (minerba) pada 2024.
Setoran PNBP minerba pada 2024 mencapai Rp140,5 triliun, menyumbang 46,79% dari total PNBP tahun lalu. Namun, capaian tersebut makin merosot dari setoran minerba pada 2023 senilai Rp172,1 triliun dan 2022 sejumlah Rp180,4 triliun.
Pertambangan batu bara, lanjutnya, diadang berbagai masalah geopolitik global dan perang tarif Amerika Serikat (AS)-China yang makin menambah ketidakpastian bagi pasar komoditas batu bara
“Banyak pembeli menahan diri dan mengambil posisi wait and see terhadap kontrak pembelian baru,” terang Gita.
Hal ini menjadi salah satu alasan di balik turunnya kinerja ekspor batu bara Indonesia pada kuartal I-2025, yang merefleksikan adanya tekanan nyata dari sisi permintaan global dan kompetisi pasar.
BPS mencatat ekspor batu bara Indonesia hanya mencapai US$1,97 miliar pada Maret, atau anjlok 5,54% dari bulan sebelumnya dan 23,14% secara tahunan.
Kendati demikian, Gita mengatakan Indonesia masih memiliki celah untuk bisa memacu ekspor ke Asia Selatan dan Asia Tenggara, yang masih membutuhkan batu bara sebagai bagian dari bauran energi mereka.
“Meski tidak bisa sepenuhnya menggantikan porsi ekspor ke China atau India,” ujarnya.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)