"Namun, tingginya akurasi ini juga diiringi dengan kompleksitas dan potensi risiko yang lebih tinggi. Sidik jari masih bisa dikaburkan atau diubah dalam kasus-kasus tertentu, tetapi retina tidak bisa diutak-atik. Inilah yang membuat masyarakat perlu lebih waspada," ucap Pratama.
Di sisi lain, Pratama menyoroti kondisi di Indonesia di mana penggunaan informasi berbasis iris mata masih belum menjadi praktik umum. Namun, ia tetap menilai pentingnya untuk mengantisipasi potensi penyalahgunaan sejak dini, terutama di tengah maraknya proyek global dengan janji imbalan finansial karena telah memberikan data biometrik.
"Ketika masyarakat dihadapkan pada penawaran berupa imbalan tunai atau digital untuk menukar data biometriknya, maka yang terjadi bukanlah partisipasi sukarela, melainkan bentuk kompromi yang dibungkus dengan iming-iming keuntungan sesaat. Di sinilah literasi digital dan etika perlindungan data menjadi sangat krusial," terang dia.
Adapun Tools for Humanity (TFH) —perusahaan di balik protokol World—dalam keterangan resminya menyatakan, telah menghentikan secara sukarela layanan verifikasi baik Worldcoin dan World ID di Indonesia. Langkah ini diambil sembari menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai persyaratan izin dan lisensi yang relevan dari otoritas terkait dalam hal ini Kementerian Komdigi.
"Kami berharap dapat terus melanjutkan dialog konstruktif dan suportif yang telah terjalin selama setahun terakhir dengan pihak pemerintah terkait," terang mereka. Tools for Humanity juga menegaskan kesiapannya untuk menindaklanjuti segala kekurangan atau potensi kesalahpahaman terkait aspek perizinan.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Komdigi bakal meminta keterangan PT. Terang Bulan Abadi dan PT. Sandina Abadi Nusantara terkait layanan Worldcoin dan WorldID, proyek milik Sam Altman, tokoh dibalik startup OpenAI.
"Pembekuan ini merupakan langkah preventif untuk mencegah potensi risiko terhadap masyarakat. Kami juga akan memanggil PT. Terang Bulan Abadi untuk klarifikasi resmi dalam waktu dekat", jelas Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar.
(prc/wep)

































