Arus masuk modal asing yang mulai kembali ke pasar saham, sedikit mengurangi posisi net sell sepanjang tahun ini yang sempat melampaui Rp50 triliun year-to-date. Sampai data perdagangan kemarin, posisi net sell asing di bursa saham domestik sedikit berkurang menjadi US$ 3,04 miliar, sekitar Rp49,91 triliun.
Masih Net Buy SUN
Bila posisi asing di saham RI masih net sell sepanjang tahun ini, instrumen yang memberikan pendapatan tetap yakni obligasi negara nyatanya masih jadi favorit para pemilik modal.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pemodal global telah mencatat lima bulan beruntun posisi net buy di Surat Berharga Negara (SBN). Terakhir, pada April lalu, posisi asing bertambah Rp7,79 triliun di tengah kejatuhan nilai rupiah hingga menyentuh level terlemah dalam sejarah akibat turbulensi pasar tersengat sentimen tarif AS.
Nilai pembelian SBN oleh asing selama April juga jauh lebih besar dibanding bulan sebelumnya yang hanya Rp1,71 triliun.
Pada awal Mei, kepemilikan asing di SBN sedikit berkurang sekitar Rp2,11 triliun menjadi total Rp897,55 triliun per 2 Mei lalu. Namun, sepanjang tahun sampai posisi akhir April, asing masih mencetak net buy SBN sebesar Rp23,01 triliun.
Asing sepertinya juga mulai masuk lagi ke instrumen tenor pendek, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Laporan Bank Indonesia terakhir pada pekan lalu, berdasarkan data transaksi 28-30 April, investor nonresiden mencatat posisi pembelian bersih di SRBI senilai Rp3,95 triliun. Nilai belanja itu mengurangi poisisi net sell year-to-date menjadi Rp12,05 triliun per akhir April.
Animo asing yang terjaga di SBN dan gelagat mulai kembali berbelanja di pasar saham serta SRBI, akan menguntungkan rupiah. Meski dalam hitungan sepanjang tahun (year-to-date), rupiah masih jadi satu-satunya mata uang Asia yang kalah oleh dolar AS dengan pelemahan 2,03%, namun itu sudah cukup membaik.
Sepanjang Mei ini, rupiah sudah mencetak kinerja positif dengan penguatan 1,01% month-to-date, menjadi kinerja terbaik di Asia urutan lima.
Sentimen BI Rate
Minat asing mungkin akan semakin besar dengan mulai besarnya harapan akan pemangkasan bunga acuan, BI rate, pada pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 20-21 Mei nanti, sejurus dengan pelemahan ekonomi domestik yang kian nyata.
Capaian pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal pertama yang lebih buruk ketimbang ekspektasi pasar, hanya 4,87% yang menjadi laju Produk Domestik Bruto (PDB) terendah sejak kuartal III-2021.
Kelesuan diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun ini hingga perekonomian Indonesia diprediksi hanya akan tumbuh 4,8% full year, berdasarkan survei Bloomberg terhadap 33 ekonom.
Di tengah pelemahan ekonomi dunia akibat guncangan perdagangan global menyusul kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, Indonesia perlu 'menyelamatkan' mesin utama pertumbuhannya yakni konsumsi domestik, ketika pertumbuhan investasi dan perdagangan kemungkinan akan terdampak paling besar oleh 'badai tarif'.
Apabila pemangkasan BI rate terus ditunda, pelemahan ekonomi akan semakin dalam selain juga bisa memantik kebingungan di pasar, menurut ekonom.
"Kami memandang dengan kondisi saat ini ada perlambatan ekonomi, inflasi rendah dan rupiah sudah menguat, ruang penurunan BI rate bulan ini sangat terbuka," kata Chief Economist Trimegah Securities Fakhrul Fulvian yang memprediksi akan ada pemangkasan 25 basis poin pada pertemuan Dewan Gubernur BI bulan ini.
Capaian pertumbuhan kuartal satu menjadi alarm peringatan agar para pembuat kebijakan segera bertindak lebih cepat memitigasi supaya efek perang dagang tak makin menekan perekonomian.
"Pemerintah harus perkuat ketahanan domestik menghadapi perang dagang, di mana negara harus hadir menjadi shock absorber sehingga konsumsi masyarakat bertahan, industri kuat," menurut Fakhrul.
Pemangkasan BI rate akan jadi sinyal baik bagi pasar dan mungkin akan semakin menarik investor masuk berbelanja saham termasuk saham-saham perbankan yang akan diuntungkan dengan pelonggaran moneter.
(rui/aji)





























