“Tanpa arus kas masuk yang cukup, tekanan likuiditas bisa berlanjut. Kunci keberlanjutan ke depan ada pada monetisasi aset, selektivitas proyek, dan diversifikasi pendapatan di luar APBN,” ujarnya.
Ia juga menyoroti risiko gagal bayar yang mulai membayangi. Meskipun belum menjadi kenyataan secara sistemik, tekanan likuiditas yang meningkat membuat beberapa emiten mulai mengambil langkah antisipatif, seperti relaksasi tenor, konversi utang ke ekuitas, hingga mencari pendanaan alternatif lewat skema asset recycling.
“Bila realisasi proyek strategis terus tertunda, potensi distress keuangan bisa meningkat dan perlu diantisipasi sejak dini oleh seluruh stakeholder,” kata Reza.
Untuk keluar dari tekanan, emiten BUMN Karya disarankan untuk lebih agresif melakukan transformasi model bisnis. Reza menilai, peluang mencetak laba masih ada jika perusahaan berani melakukan diversifikasi proyek, meningkatkan efisiensi operasional, serta menjalankan restrukturisasi yang lebih menyeluruh.
“Ke depan, ketahanan finansial BUMN Karya akan sangat tergantung pada kemampuan mereka untuk berpindah dari kontraktor murni menjadi entitas yang terintegrasi secara finansial dan komersial,” tegasnya.
Dengan anggaran infrastruktur yang semakin ketat dan beban bunga yang besar, tantangan BUMN Karya untuk kembali ke jalur pertumbuhan masih panjang. Ketergantungan pada proyek-proyek pemerintah membuat sektor ini makin rentan saat arus kas terganggu.
(ell)






























