Logo Bloomberg Technoz

GEM menekankan, dalam sejarahnya, banyak dari proyek gas di Asia Tenggara yang menghadapi penundaan, serta ketidakpastian yang signifikan muncul seputar kemungkinan kemajuan proyek-proyek tersebut.

Proyek LNG di Asean juga banyak yang berlokasi di area yang sensitif secara ekologis seperti Segitiga Terumbu Karang dan Delta Mekong dan dapat berdampak negatif yang signifikan pada keanekaragaman hayati yang kaya yang ditemukan di sana.

FID proyek hulu gas di Asean yang mengalami penundaan bertahun-tahun./dok. Global Energy Monitor

Manajer Proyek untuk Asia Gas Tracker GEM Warda Ajaz mengatakan produksi gas yang baru dan diperluas di Asia Tenggara mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut dan mata pencarian jutaan orang yang bergantung padanya.

“Investasi baru dalam gas hanya akan memperkuat industri dan menghadirkan hambatan bagi pengembangan energi terbarukan,” ujarnya.

Seiring dengan meningkatnya momentum transisi energi, sambungnya, kelayakan FID yang mandek ini dinilai perlu dikaji ulang.

“Daripada mengejar usaha bahan bakar fosil berisiko tinggi, Pemerintah Asia Tenggara memiliki peluang penting untuk mengalihkan investasi ke sistem energi yang bersih dan berskala yang mendukung ketahanan ekonomi dan sejalan dengan komitmen iklim global,” kata Ajaz.

Proyek Indonesia

Dalam laporannya, GEM juga mencatat Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang paling getol berjuang memperluas ekstraksi gas dengan mendorong proyek baru untuk memenuhi permintaan domestik dan internasional. 

Penemuan raksasa atau giant discovery Geng North milik Eni senilai US$12 miliar menjadi salah satu pengembangan gas terbesar dan tercepat di kawasan.

Dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada, seperti kilang LNG Bontang di Kalimantan Timur, proyek ini dijadwalkan mulai berproduksi pada akhir 2027. Eni menggambarkan pusat produksi Cekungan Kutei sebagai “game changer”.

Di sisi lain, ladang gas Abadi di Blok Masela dan proyek LNG terkait merupakan contoh tambahan dari proyek gas yang tertunda di Asean.

Ditemukan pada 2000, proyek Blok Masela yang dipenggawai Inpex itu “telah lama berjuang untuk mendapatkan daya tarik”, menurt GEM.

Rencana pengembangan atau plan development (PoD) Blok Masela disetujui oleh pemerintah pada 2019, tetapi kemudian “untuk membuat proyek lebih bersih”, Inpex harus mengajukan rencana yang direvisi pada 2023.

Saat itu, perusahaan mengindikasikan bahwa mereka menargetkan FID pada paruh kedua 2020-an untuk mulai mengekstraksi pada 2030-an. 

Ilustrasi Blok Masela (Bloomberg Technoz/Diolah)

Terdaftar sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), Lapangan Abadi dilaporkan akan memasok gas ke proyek LNG Abadi dengan laju 13 bcm/tahun LNG, 1,5 bcm/tahun gas pipa.

Investasi signifikan lainnya di sektor hulu gas adalah proyek Tangguh Ubadari, CCUS, dan Compression (UCC) senilai US$7 miliar milik BP, yang disetujui pada Oktober 2024.

Proyek ini diharapkan dapat menghasilkan tambahan gas sebesar 3 triliun kaki kubik, dengan menggabungkan CCUS untuk meningkatkan pemulihan gas dan mengurangi emisi.

Untuk diketahui, ekspansi ambisius Indonesia terkait erat dengan Rencana Strategis Hulu Minyak & Gas (IOG) 4.0, yang dipimpin oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan produksi gas menjadi 12 miliar kaki kubik standar per hari pada 2030.

Demi mendukung hal ini, pemerintah telah mengumumkan rencana untuk menawarkan 54 blok minyak dan gas baru antara 2024 dan 2028, sehingga memudahkan investor untuk mengeksplorasi dan mengembangkan proyek-proyek baru. 

Pada saat bersamaan, fokus pemerintah di sektor gas saat ini adalah untuk memprioritaskan pasar dan pengamanan kebutuhan dalam negeri.

Dalam kaitan itu, pemerintah pada berbagai kesempatan juga menyampaikan niat untuk memoratorium ekspor LNG dan gas pipa, termasuk ke Singapura, selepas kontraknya habis pada 2028.

(wdh)

No more pages