Sebagian besar pemicu pelemahan rupiah adalah terus keluarnya dana asing dari saham, surat utang negara juga instrumen SRBI, salah satunya karena ketidakyakinan akan arah kebijakan fiskal Pemerintahan Prabowo Subianto.
Selama April, arus keluar modal asing dari pasar portofolio Indonesia mencapai nilai yang luar biasa besar terutama karena guncangan eksternal tarif AS.
Arus keluar modal asing terbesar adalah dari instrumen operasi moneter yang khusus dihadirkan untuk menarik dana asing jangka pendek (hot money) yaitu Sekuritas Rupiah (SRBI).
Asing melepas sekitar Rp24,32 triliun, lalu dari Sekuritas Valas (SVBI) sebesar Rp13,86 triliun, hingga data 21 April.
Belum lagi arus keluar dari pasar saham domestik, yang mencapai US$ 1,21 miliar selama April saja atau sekitar Rp20,43 triliun sampai data perdagangan 23 April. Lalu dari pasar Surat Berharga Negara (SBN), modal asing keluar sekitar Rp2,45 triliun sampai data terakhir 22 April lalu.
Alhasil, bila ditotal selama bulan ini, terjadi arus keluar modal asing dari pasar portofolio Indonesia mencapai angka fantastis hingga Rp61,06 triliun month-to-date. Tidak heran bila rupiah ambles hampir 2% selama bulan ini.
Kelesuan Ekonomi
Indonesia menjadi target langsung tarif Trump karena posisinya sebagai kontributor terbesar peringkat ke-15 terhadap defisit perdagangan AS. Semula, Indonesia dikenakan tarif 34%.
Namun, dalam perjalanan negosiasi dengan AS yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ekspor tekstil Indonesia mendapatkan pukulan lebih lanjut dengan tarif tambahan hingga 47%.
Dampak perang dagang tidak main-main terhadap perekonomian domestik yang sebenarnya sudah memperlihatkan tanda-tanda kelesuan, utamanya dari konsumsi rumah tangga yang terimbas penurunan manufaktur dan terjadinya gelombang PHK di beberapa sektor industri.
Penjualan ritel lesu kala Lebaran lalu, terlesu sejak pandemi. Ditambah keyakinan konsumen yang ambles akibat kondisi penghasilan masyarakat yang memburuk serta ketersediaan lapangan kerja nan sempit.
Otoritas bank sentral mencermati hal itu, sembari menyoroti kendala penghimpunan dana oleh perbankan yang melempar sinyal kondisi likuiditas mulai sesak sehingga berdampak pada perlambatan laju kredit pada Maret yang cuma naik 9%, jauh di bawah target tahun ini antara 11%-13%.
Tahun ini, perekonomian RI diperkirakan hanya akan tumbuh di bawah titik tengah proyeksi bank sentral atau tak sampai 5,1%.
Walau proyeksi itu masih lebih optimistis dibanding ramalan terbaru IMF sebesar 4,7% dan Bloomberg Economics 4,9%, tetap saja menjadi sinyal bahwa perekonomian domestik membutuhkan pelonggaran agar bisa bertahan di tengah gempuran perang dagang.
Konsumsi sejauh ini masih menjadi motor utama pertumbuhan. Bila berkaca pada data historis, di luar periode resesi akibat Pandemi Covid-19, Indonesia pernah terhantam gejolak global yakni krisis finansial 2008, membuat perekonomian hanya mampu tumbuh 4,7% pada tahun 2009.
Kala itu praktis perekonomian domestik bersandar hanya pada 70% motor pertumbuhan yakni konsumsi rumah tangga dan pemerintah, di kala ekspor dan investasi lajunya lunglai diterjang pemburukan ekonomi global.
Bloomberg Economics mencatat, pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal 1-2025 cenderung melemah bahkan ketika periode itu terjadi musim perayaan yang biasa mengungkit konsumsi masyarakat.
"Indikator aktivitas menunjukkan perlambatan secara material, bahkan sebelum tarif resiprokal AS dikenakan. Ekspor masih bertahan kemungkinan didorong oleh langkah front-running [sebelum tarif resmi diberlakukan]. Sebaliknya, sinyal konsumsi, investasi serta manufaktur melemah," kata Tamara M. Henderson, Ekonom Bloomberg Economics dalam riset terbaru yang dirilis hari ini.
Beberapa program bantuan sosial dari Pemerintah RI, seperti melalui program Makan Bergizi Gratis, juga inflasi rendah karena dukungan diskon komoditas yang harganya diatur (administered price), masih memberi dukungan. Namun, perlambatan pada kuartal pertama dan sepanjang tahun ini sulit dihindari, menurut ekonom.
Alhasil, pelonggaran moneter menjadi kebutuhan dalam waktu dekat. BI dinilai akan memangkas bunga acuan sebesar 25 bps pada kuartal ini, apakah itu pada pertemuan Mei atau Juni, tergantung pada seberapa stabil pergerakan rupiah nanti.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan dalam taklimat media kemarin, "Kami akan terus memonitor peluang untuk pemangkasan bunga acuan. Begitu stabilitas rupiah tercapai, ruang untuk penurunan bunga acuan lebih lanjut akan lebih terbuka dan saat itulah [penurunan bunga acuan] dilakukan," kata Perry.
(rui/aji)




























