Won Korsel memimpin penguatan hampir 1%, disusul oleh baht yang menguat 0,5%, lalu peso 0,47%, ringgit 0,38% dan yuan offshore juga menguat 0,33%. Dolar Singapura dan Hong Kong masing-masing menguat 0,05% dan 0,01%. Adapun yen yang kemarin mencetak reli, pagi ini terpantau melemah 0,15% nilainya terhadap dolar AS.
Dolar AS ditinggalkan
Kejatuhan indeks dolar AS ditengarai karena makin tingginya kekhawatiran akan pecah resesi di perekonomian terbesar di dunia itu.
Penerapan tarif perdagangan oleh Trump diyakini akan berdampak besar pada perlambatan ekonomi baik di AS juga di seluruh dunia mengingat posisi Negeri Paman Sam yang sangat signifikan terhadap ekonomi global.
Investor keluar dari aset berisiko dan mengalihkan dana mereka di aset pendapatan tetap seperti obligasi pemerintah.
Dengan ekspektasi akan terjadinya perlambatan bahkan sampai terjadi resesi, membuka peluang bagi penurunan bunga acuan oleh Federal Reserve, bank sentral AS, yang bisa mempengaruhi pula arah bunga acuan global.
Tingkat bunga acuan yang bisa lebih rendah, seperti terefleksi dari penurunan yield US Treasury, sebutan untuk surat utang AS, membuat pamor dolar AS yang kerapkali diperlakukan sebagai aset safe haven, menjadi tak lagi menarik.
Dolar AS pun ditinggalkan dengan mata uang utama kompak melesat. Euro menguat tajam hingga hampir 3%, yang menjadi penguatan sehari terbesar yang pernah terjadi sejak akhir 2015 silam.
Pagi ini pun euro bergerak menguat 0,14% terhadap dolar AS, bersama Swiss franc yang juga menguat 0,37%.
Saham terus dijual
Aksi jual besar para investor di bursa-bursa saham di kawasan Asia, berlanjut pada Jumat ini, masih terpicu oleh ketakutan global yang kian meluas terhadap dampak dari penerapan tarif AS yang agresif terhadap hampir semua negara di dunia.
Indeks MSCI Asia Pasifik ambles ke level terendah dalam dua bulan terakhir pada perdagangan hari ini, menyusul 'kebakaran' yang menghebat di pasar saham AS pada Kamis.
Para investor masih diliputi ketakutan bahwa kebijakan tarif yang diusung Presiden AS Donald Trump, dan menjadi kebijakan paling agresif dalam satu abad terakhir, akan menjatuhkan dunia dalam resesi dan inflasi yang kembali tinggi.
"Jika kebijakan tarif ini diberlakukan, perekonomian akan melambat. Entah itu resesi atau tidak, jelas bahwa perekonomian menuju perlambatan di AS dan di seluruh dunia. Tidak ada tempat untuk bersembunyi kecuali pasar pendapatan tetap," kata Mary Ann Bartels, analis Sanctuary Wealth seperti dilansir Bloomberg News.
Pada perdagangan Kamis, sehari setelah Trump mengumumkan kebijakan agresifnya, bursa saham di Wall Street rontok. Indeks S&P 500 ambles hingga 5%, disusul oleh Nasdaq 100 yang tergerus 5,5%. Itu adalah penurunan bursa Wall Street terbesar sejak Pandemi 2020 lalu.
Sedikitnya senilai US$ 2,5 triliun nilai kapitalisasi bursa AS terhapuskan akibat aksi jual besar-besaran tersebut.
Pasar kini menunggu laporan penggajian AS, nonfarm payroll, untuk bulan Maret pada Jumat pagi waktu setempat atau Jumat malam waktu Jakarta. Para pelaku pasar juga menunggu pidato dari Jerome Powell, Gubernur Federal Reserve, bank sentral AS.
Pidato dari Powell akan sangat ditunggu karena menjadi pernyataan pertama orang nomor satu di bank sentral paling berpengaruh tersebut, pasca kebijakan tarif Trump dirilis.
Ekspektasi bahwa tarif akan membuat perekonomian melambat bahkan resesi akan tetapi dibayangi juga oleh risiko inflasi yang melonjak, membuat pekerjaan rumah The Fed makin rumit.
(rui)





























