Berbondong-bondong pemodal asing keluar dari pasar keuangan domestik berlangsung sejurus dengan lonjakan premi risiko investasi di Indonesia. Hal itu tecermin dari kenaikan harga kontrak Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun, yang menyentuh 82,55, level tertingi sejak November 2023.
CDS merupakan kontrak antara penjual dan pembeli CDS dengan membayar biaya (fixed premium) pada periode tertentu (maturity) dan kompensasi tertentu apabila terjadi credit event.
Mengacu ISDA (International Swaps and Derivatives Association), seperti disebut sebagai “The Big Bang Protocol” credit event dibatasi dalam dua hal, yaitu: bankruptcy dan failure to pay. Dengan kata lain, CDS adalah sejenis perlindungan/proteksi atas risiko kredit.
Ketika premi CDS naik, itu berarti pembelian terhadap proteksi atas terjadinya kegagalan kredit atau risiko kredit yang lain, meningkat. Dalam konteks yang terjadi di pasar Indonesia, defisit APBN di awal tahun yang terakhir terjadi pada 2021 silam kala pandemi merebak, dilihat sebagai peningkatan risiko kredit sehingga investor membutuhkan proteksi lebih besar untuk memitigasi risiko pasar ke depan.
Mulai Rebound
Guncangan arus jual yang melanda pasar surat utang dan saham kemarin akibat sentimen data APBN, hingga menekan harga obligasi dan menaikkan imbal hasil, hari ini sepertinya sudah mulai mereda.
Sampai siang ini, rata-rata SBN berbagai tenor menunjukkan penurunan yield yang mencerminkan kenaikan harga surat utang terungkit aksi jual investor.
Rebound harga surat utang tersebut kemungkinan karena terpangkasnya lagi bunga diskonto Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Bunga SRBI, instrumen moneter Bank Indonesia bertenor pendek, yang makin rendah, membuat daya tarik SBN jadi terangkat lagi.
Lebih dari itu, penurunan bunga diskonto SRBI juga bisa menjadi sinyal upaya Bank Indonesia melanjutkan pelonggaran di tengah situasi keketatan likuiditas yang dihadapi oleh perbankan di Tanah Air. Bukan cuma itu, ekspektasi penurunan bunga acuan BI rate ke depan juga bersemi, di tengah kenaikan harapan pasar global akan pelonggaran moneter oleh Federal Reserve.
Sampai sore ini, yield 2Y turun tipis 0,7 basis poin di level 6,59%, lalu tenor 5Y juga turun 3,2 basis poin di level 6,71%.
Namun, tenor 10Y masih melanjutkan kenaikan imbal hasil, sebesar 2,9 basis poin di 6,97%.
Rupiah berhasil menguat, sejurus dengan sentimen positif di pasar regional. Rupiah spot menutup pekan di posisi Rp16.350/US$.
Meski demikian, secara mingguan, rupiah masih mencetak kinerja buruk dengan pelemahan mencapai 0,34%. Namun, pelemahan rupiah sepekan ini masih lebih baik dibanding mata uang Asia lain seperti ringgit, won Korsel juga dolar Taiwan.
Adapun IHSG sampai jelang penutupan pasar Jumat sore, masih tertekan 1,83% di level 6.526. Pelemahan bursa saham domestik di tengah kenaikan mayoritas indeks saham di Asia sampai sore ini.
(red)





























