"Model minyak goreng begini apa kita tetap pertahankan? Sudah mau empat tahun, waktu itu 2022, 2023, 2024, dan sekarang 2025. Ini sudah menyalahkan regulasi. [...] Jadi sudah tidak ada kompetisi," tutur Sahat.
Sahat juga turut menyinggung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menekankan pentingnya kompetisi pasar. Ini juga sejalan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Meski tujuan peluncuran MinyaKita untuk melakukan stabilisasi harga dan operasi di pasar, namun nyatanya harga minyak goreng dalam negeri kerap masih tinggi. Apalagi, kata Sahat, Indonesia juga merupakan negara produsen minyak sawit terbesar dunia.
"Ini sebuah ironi. Kita produsen terbesar, kenapa harga minyak goreng kita tinggi? Jadi kalau saya berpendapat, pemerintah yang harus membuat regulasi, bahwa produk minyak untuk domestik harusnya dibedakan dengan minyak untuk ekspor,” kata Sahat.
Libatkan Kementerian Sosial
Selain itu, Sahat mengatakan, rencana penggantian MinyaKita melalui skema BLT tersebut mesti juga melibatkan Kementerian Sosial, sebagai penyalur utama bantuan untuk masyarakat miskin tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk mencapai 281,6 juta jiwa. Sebanyak 25,4 juta jiwa atau 9,03% diantaranya berada dalam kategori berpendapatan rendah.
"BLT itu daftarnya kan ada di Departemen Sosial, ya kita berikan ke Departemen Sosial," ujar dia.
Dia juga lantas mengasumsikan kebutuhan minyak goreng per kapita per tahun di Indonesia sekitar 8 kilogram (kg). Jika merujuk pada data BPS itu, maka akan membutuhkan sekitar 100 ribu ton per tahun.
Tak Bebani APBN
Sahat menegaskan, pendanaan usulan program ini juga tidak perlu membebani anggaran pemerintah.
Dana bisa berasal dari pungutan ekspor minyak sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) melalui pungutan sebesar US$1. Namun, dia tak mengelaborasi pungutan tersebut merujuk pada pajak, biaya lain, atau denda.
"Dananya dari mana? Tidak usah dari pemerintah, itu dari levy saja kita ambil. Bahwa pemerintah akan menarik levy, misalnya sebesar US$1. Itu kita tahu lah tujuannya itu untuk apa," ujar Sahat.
"Minyak mentah atau crude palm oil (CPO) untuk kebutuhan domestik harus di level harga yang lebih rendah, karena kita lah sumber yang tertinggi. Nah, minyak untuk ekspor itu juga harus diregulasikan, jangan diserahkan kepada perusahaan asing untuk mengatur harga kita," imbuhnya.
(ain)






























