Logo Bloomberg Technoz

Selera belanja asing di surat utang RI memasuki tren naik terutama ketika Bank Indonesia secara mengejutkan memangkas bunga acuan pada Januari lalu. Di sisi lain, yield surat utang global, terutama Treasury, juga sempat melandai sehingga memperlebar selisih imbal hasil investasi dengan surat utang RI.

Ekspektasi akan penurunan BI rate lebih lanjut, membuat daya tarik surat utang makin menawan. Bukan cuma itu, ketika terjadi turbulensi pasar saham akibat hantaman berbagai sentimen negatif domestik, para pemodal asing terindikasi menambah posisi di surat utang.

Sebagai gambaran, ketika asing mencatat net sell di saham sebesar US$ 1,36 miliar atau sekitar Rp22,31 triliun year-to-date, posisi asing di SBN bertambah Rp21,35 triliun sepanjang tahun ini sampai data 7 Maret. Sementara di SRBI, asing juga menurun posisinya dari net buy senilai Rp12,93 triliun, menjadi tinggal Rp6,11 triliun sampai data 6 Maret.

Yield SBN yang masih menarik, jauh lebih tinggi dibanding imbal hasil surat utang negara tetangga, dengan pergerakan harga lebih stabil, membuat kelas aset ini menjadi alternatif menarik pemodal asing.

Pergerakan harga SBN bullish sejak akhir tahun dengan tingkat imbal hasil telah banyak terpangkas. Sebagai gambaran,  tingkat imbal hasil SUN tenor pendek 2Y, misalnya, sempat menyentuh level terendah di 6,438% pada 24 Februari lalu. Itu mencerminkan penurunan 65 basis poin dibanding posisinya pada akhir tahun lalu yang masih di 7,089%.

Begitu juga yield tenor menengah 5Y, yang masih di kisaran 7,054% pada akhir tahun lalu dan sempat makin melejit di 7,167% pada Januari, kini imbal hasilnya makin landai di 6,679%. Sementara tenor acuan, SUN 10Y, bulan lalu menyentuh level terendah di 6,767%, terpangkas 50 basis poin dari yield tertinggi tahun ini pada pertengahan Januari di 7,276%.

Risiko Fiskal 2025

Hanya saja, animo pemodal asing yang besar di instrumen surat berharga negara, rentan terjegal sejurus dengan meningkatnya kekhawatiran pasar akan prospek fiskal Indonesia.

Yang terbaru, bank investasi dan jasa keuangan global asal Amerika, Goldman Sachs, memperkirakan pergerakan kurva imbal hasil surat berharga negara yang diterbitkan Pemerintah RI, akan cenderung bearish di mana harga SBN tenor panjang akan tertekan lebih dalam ketimbang tenor pendek. 

Laporan perkembangan APBN bulan Januari dan Februari sampai hari ini belum diumumkan pada publik (Bloomberg Technoz/Dovana Hasiana)

Goldman Sachs memperkirakan, tingkat imbal hasil obligasi tenor pendek mungkin akan turun karena likuiditas yang lebih longgar. Namun, untuk obligasi negara tenor panjang kemungkinan akan lebih rentan terbebani risiko defisit fiskal. Itu akan membawa kurva imbal hasil SBN cenderung makin curam ke depan.

    Rencana realokasi anggaran oleh Presiden Prabowo Subianto, lalu pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara, serta rencana program 3 Juta Rumah, kesemuanya dinilai bisa membuat defisit fiskal semakin lebar, kata analis Goldman Sachs Danny Suwarnapruti, dalam catatannya seperti dilansir dari Bloomberg News, pekan lalu. 

    Senada, BMI, perusahaan riset global asal Inggris yang juga anak usaha Fitch Solutions dari Fitch Group, juga memperingatkan adanya risiko pelebaran defisit fiskal Indonesia tahun ini hingga ke angka 3%, menyusul langkah belanja nan ekspansif di tengah ketiadaan rencana konkret memperluas basis pajak.

    Analisis BMI menyebut, defisit fiskal rata-rata akan di kisaran 3% selama lima tahun ke depan. Bila Pemerintahan Prabowo berhasil menghindari batas tersebut, BMI akan merevisi perkiraan ke atas.

    "Kurangnya perencanaan konkret untuk memperluas basis pajak bisa membahayakan posisi fiskal Indonesia karena presiden ingin meningkatkan belanja publik untuk agenda kebijakannya," demikian dinyatakan oleh BMI dalam catatannya.

    Transparansi APBN

    Di tengah prediksi pelebaran defisit fiskal APBN 2025 yang potensial membebani pasar surat utang negara ke depan, kalangan pelaku pasar saat ini juga makin banyak menyoroti transparansi fiskal seiring dengan tak jua dirilisnya perkembangan terakhir keuangan negara, APBNKita.

    Laporan keuangan negara, biasa disebut laporan APBNKita untuk edisi Januari, sampai hari ini belum juga diumumkan oleh Kementerian Keuangan RI. Hal itu menjadi sebuah ketidaklaziman. Terakhir kali Kemenkeu melaporkan APBNKita adalah untuk edisi Desember yang dilangsungkan pada 6 Januari lalu.

    Pengumuman APBNKita edisi Januari menjadi yang paling ditunggu-tunggu oleh investor karena akan menjadi bulan ketika gebrakan penghematan anggaran besar-besaran oleh Presiden Prabowo Subianto dimulai, tepatnya mulai 22 Januari lalu.

    Investor menunggu data terbaru keuangan negara untuk mengukur dampak dari langkah fiskal terkini secara lebih baik, menurut Ekonom OCBC Lavanya Venkateswaran.

    Bloomberg Economic Outlook 2025

    Sebelumnya, Mandiri Sekuritas juga sudah menyoroti hal serupa. "Investor sering menanyakan pada kami kondisi saat ini adalah transparansi dari sisi fiskal. Itu mungkin satu hal penting untuk terus dilakukan oleh pemerintah. Jadi, kalau kita bicara transparansi fiskal, realokasi dari sisi budget maupun dari sisi prioritas pemerintah ini kemana, dampak ke GDP [pertumbuhan ekonomi] seperti apa dan medium terms outlook fiskal ini harus benar-benar bisa dikomunikasikan dengan bagus," kata Handy Yunianto, Head of Fixed Income Research Division Mandiri Sekuritas, dalam paparannya di acara Bloomberg Economic Outlook 2025, bulan lalu.

    Dalam perdagangan Senin hari ini, mengawali pekan kedua Maret, pergerakan harga obligasi negara cenderung variatif di tengah tekanan jual yang kembali melanda pasar saham.

    Mengacu data OTC Bloomberg, yield 1Y naik 4,5 basis poin jelang siang ini di kisaran 6,495%. Sedangka tenor 5Y berubah sedikit di 6,677% dan tenor acuan 10Y juga naik yield-nya 0,7% ke level 6,875%.

    IHSG masih tertekan oleh arus jual yang kembali besar, kini terpangkas 0,41% di level 6.608, di kala rupiah terseret sentimen regional hingga melemah 0,17% ke level Rp16.323/US$.

    (rui/aji)

    No more pages