Kinerja buruk ini juga tercermin dalam pergerakan harga saham INCO. Pada perdagangan 25 Februari 2025, harga sahamnya anjlok 6,46% ke level Rp 2.750 per saham. Secara year to date (YTD), saham INCO telah turun 24,03%, mencerminkan pesimisme pasar terhadap prospek bisnis perusahaan di tengah tantangan industri nikel global.
Analis Stockbit Sekuritas Hendriko Gani mengatakan, ada sejumlah faktor yang membuat laba INCO tertekan. Untuk tahun ini, kinerja keuangan INCO juga diperkirakan masih akan menantang.
"Penurunan laba bersih, terutama pada kuartal IV-2024, disebabkan oleh kenaikan beban usaha dan pendapatan lain-lain yang berbalik rugi," ujar Hendriko.
Kondisi itu yang membuat kinerja keuangan INCO berada di bawah perkiraan konsensus analis.
Dia melihat, tahun ini kinerja INCO juga masih akan dipengaruhi oleh volatilitas harga komoditas. "Terutama harga nikel di tengah potensi kelebihan pasokan atau oversupply," imbuh Hendriko.
Meski demikian, INCO berpotensi mencatatkan volume produksi dan penjualan bijih nikel yang lebih tinggi dalam tahun–tahun ke depan seiring dengan pembukaan pit baru di Pomalaa dan Bahodopi.
"Berdasarkan guidance dari manajemen, INCO berpotensi mencatatkan penambahan penjualan 1,7 juta wet metric ton (wmt) saprolite pada 2025, yang terdiri dari 1,4 juta wmt dari Bahodopi dan 300.000 wmt dari Pomalaa. Sebelumnya, INCO tidak menjual bijih nikel saprolite dan hanya menjual nikel dalam bentuk matte."
(dhf)































