Logo Bloomberg Technoz

Capaian penurunan penjualan mobil pada April lalu melengkapi lesunya penjualan ritel di bulan yang sama. Sebelumnya, Bank Indonesia merilis data penjualan ritel pada April hanya tumbuh 1% saja.

Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menyatakan anjloknya angka penjualan mobil pada April 2023 diakibatkan oleh berkurangnya waktu operasional diler pada bulan tersebut. Sebab, cuti bersama yang ditetapkan oleh pemerintah untuk Lebaran tahun ini cukup panjang, mulai dari 19—25 April.

"Karena [waktu] liburnya panjang, cuti bersama juga panjang. Belum lagi ada bulan puasa. Waktu operasional diler jadinya berkurang. Memang polanya selama ini seperti itu," katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz pada Senin (15/5/2023).

Tahun lalu, penjualan mobil pada Mei 2022 tercatat hanya 61.558 unit, anjlok 24,58% jika dibandingkan dengan sebulan sebelumnya yang mencapai 81.615 unit. Seperti diketahui, Idulfitri pada tahun lalu jatuh pada 2 Mei 2022 dengan masa cuti bersama yang jauh lebih pendek.

Kukuh tetap optimistis penjualan mobil dapat kembali tumbuh pada periode berikutnya hingga akhir tahun ini. 

Kinerja penjualan mobil di tanah air, menurut penilaian analis, biasanya memang hampir selalu turun saat Lebaran datang bila mengacu pada data historis.

“Biasanya sebulan sebelum libur Lebaran penjualan mobil naik tapi lalu jatuh saat Lebaran datang, kemudian akan pulih pada Mei dan Juni. Jadi, kinerja penurunan penjualan mobil pada April tidak mencerminkan kondisi konsumsi domestik yang sesungguhnya,” komentar Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi.

Mulai Melambat

Namun, kendati penurunan penjualan mobil mungkin memang lebih dominan karena pola historis konsumsi masyarakat, sulit disangkal bila sejauh ini terdapat makin banyak pertanda bahwa perekonomian Indonesia saat ini tengah menuju perlambatan.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi 5,03% pada kuartal I-2023. Akan tetapi, meski capaian pertumbuhan ekonomi itu melampaui ekspektasi mayoritas ekonom, bila ditelisik satu per satu sejatinya ada banyak 'alarm' yang perlu diwaspadai dan memberi gambaran bahwa perlambatan ekonomi Indonesia sudah dimulai.

Pertama, laju konsumsi domestik, penyumbang utama pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya naik 4,54%. Masih di bawah rata-rata pertumbuhan satu dekader terakhir sebelum pandemi menerjang yang sebesar 5% bahkan di atasnya.

Hal itu menegaskan sekali lagi bahwa tingkat belanja masyarakat masih belum mampu bangkit walau pandemi sudah mereda diikuti pencabutan PPKM sejak akhir 2022 lalu.

Laju pertumbuhan konsumsi domestik masih belum ke level sebelum pandemi (Bloomberg)

Konsumsi domestik menjadi harapan utama penggerak perekonomian Indonesia tahun ini setelah kinerja ekspor sudah tidak bisa diharapkan lagi seiring berakhirnya bonanza komoditas yang telah memberi rezeki runtuh sekian lama pada Indonesia. Pada kuartal I lalu, sumbangan konsumsi domestik terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 52,88%.

Kedua, kinerja investasi juga mengecewakan. Sepanjang kuartal 1 lalu, investasi hanya mampu tumbuh 2,11%. Turun dibandingkan capaian kuartal 1-2022 yang sebesar 4,08%. Juga masih lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2022 yang mencapai 3,33%. 

Foreign Direct Investment (FDI) alias penanaman modal asing (PMA) pada kuartal 1 lalu yang tercatat tumbuh 16,5% year-on-year, juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal IV-2022 yang mampu tumbuh 42,1%. Walau bila membandingkan secara kuartalan, pada kuartal 1-2023 PMA tercatat tumbuh 4,5% dibandingkan kuartal IV-2022 sebesar 1,9%. 

Ketiga, kinerja ekspor semakin jatuh terseret harga komoditas yang menurun. Pada April, kinerja ekspor RI tercatat turun 29,4% menjadi US$19,29 miliar, kontraksi terdalam sejak 2009. Turunnya ekspor sejatinya sudah diperkirakan menilik tren penurunan harga komoditas global. 

Akan tetapi, turut anjloknya impor membuat kekhawatiran terkait perlambatan ekonomi RI kian sulit disangkal. Pada April lalu, impor turun hingga 22,32%, jauh lebih dalam dibandingkan prediksi pasar. Keseluruhan jenis impor tercatat turun baik itu impor barang konsumsi, bahan baku atau penolong juga impor barang modal. 

Data tersebut menggambarkan aktivitas industri dalam negeri sedang menghadapi tantangan. Sebab, mayoritas impor adalah bahan baku/penolong yang porsi pangsanya mencapai 74,53% dari total impor selama Januari-April 2023, dan itu umumnya digunakan untuk keperluan produksi dalam negeri. 

“Perlambatan impor yang lebih tajam dari perkiraan itu memperlihatkan perekonomian kita sudah menuju ke arah perlambatan,” kata Lionel.

Keempat, laju kredit perbankan. Berdasarkan laporan survei perbankan BI terakhir, permintaan kredit baru pada kuartal 1-2023 tercatat lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya kendati menurut BI itu masih sesuai dengan pola historisnya. Pada kuartal II, BI meyakini laju pertumbuhan kredit akan lebih tinggi, seperti pola musiman selama ini.

“Perlambatan impor yang lebih tajam dari perkiraan itu memperlihatkan perekonomian kita sudah menuju ke arah perlambatan,”

Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas Indonesia

Akan tetapi, penyaluran kredit pada kuartal II diperkirakan akan lebih ketat dibanding sebelumnya baik itu menyangkut bunga kredit, premi kredit berisiko hingga persyaratan administrasi. Alhasil, menurut survei BI, pertumbuhan kredit pada 2023 diperkirakan akan melambat yaitu hanya akan tumbuh 10,4%, lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan kredit pada 2022 sebesar 11,4%.

Kelima, penciptaan lapangan kerja berkualitas sejauh ini masih lemah. BPS melaporkan tingkat pengangguran menurun pada Maret menjadi 5,45% dengan kenaikan tingkat partisipasi angkatan kerja menjadi 69,3%. Akan tetapi, proporsi sektor informal saat ini lebih dominan yakni mencapai 60,12%. 

Tingkat pengangguran rendah akan tetapi proporsi sektor informal masih lebih tinggi dan bisa mempengaruhi lemahnya konsumsi domestik (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Tersendatnya perbaikan kualitas lapangan kerja dapat berdampak negatif terhadap konsumsi domestik karena upah dan jam kerja di sektor informal cenderung lebih rendah daripada di sektor formal.

"Ekuilibrium sektor formal dan informal harus diusahakan untuk pulih ke 56% vs 44% lebih dulu," kata Lionel.

-- dengan bantuan laporan Reza M. Hadyan

(rui)

No more pages