Pertama, Djoko menyebut banyak pengusaha, terutama dari sektor pertambangan, khawatir bahwa penahanan DHE dalam waktu satu tahun akan menekan likuiditas mereka.
“Untuk smelter dan perusahaan yang bergantung pada bahan baku terus-menerus, arus kas yang sehat sangat penting. Tanpa kelonggaran lebih lanjut dalam waktu penyimpanan, mereka mungkin kesulitan mengelola biaya operasional,” terangnya.
Kedua, prosedur administrasi dianggap makin rumit. Meskipun kelonggaran sudah diberikan, banyak pihak yang merasa proses pelaporan dan pencatatan yang ketat dapat memperburuk ketidakpastian.
Dengan demikian, kebijakan yang memudahkan atau meminimalkan prosedur birokrasi dinilai bisa membantu meredakan kekhawatiran ini.
Ketiga, fleksibilitas penggunaan DHE. Djoko mengatakan beberapa pihak menyarankan agar pemerintah lebih fleksibel dalam hal bagaimana DHE dapat digunakan.
“Misalnya, bukannya hanya menempatkan 100% DHE di bank domestik, bisa dipertimbangkan untuk memberi ruang bagi perusahaan untuk menggunakan sebagian dari DHE untuk mendanai operasi mereka atau memenuhi kewajiban finansial di luar negeri tanpa harus menunggu selama satu tahun penuh,” ujarnya.
Keempat, pengusaha juga membutuhkan stabilitas regulasi dan kepastian investasi. Menurut Djoko, penambang dan pengusaha tambang umumnya lebih menyukai kebijakan yang tidak berubah-ubah dalam waktu dekat.
Dia menyebut pengusaha memberi masukan untuk pemerintah agar memberikan jaminan konsistensi regulasi, sehingga investor membutuhkan kepastian atau jaminan berusaha agar merasa lebih yakin untuk menanamkan modal dalam jangka panjang.
Kelima, persoalan insentif finansial. Dalam kaitan ini, beberapa pengusaha berharap ada tambahan insentif atau keringanan fiskal bagi perusahaan tambang yang terpengaruh.
“Ini bisa berupa pengurangan pajak, pembebasan biaya administrasi, atau insentif lain yang dapat memperkuat daya saing sektor ini,” ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya sudah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 8/2025 tentang DHE SDA, yang mewajibkan eksportir menyimpan 100% DHE di dalam negeri dalam rentang setahun.
Aturan tersebut mulai berlaku 1 Maret 2025 dan wajib dilaksanakan oleh eksportir sektor pertambangan. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menambah setoran DHE hingga US$ 80 miliar pada tahun ini, bahkan bisa mencapai US$100 miliar saat berjalan selama satu tahun.
Bagi eksportir yang tidak mematuhi peraturan tersebut, pemerintah menegaskan sejumlah sanksi akan menanti termasuk pencabutan izin ekspor hingga penangguhan pelayanan ekspor.
Lebih lanjut, Prabowo mengatakan pemerintah tetap memberikan ruang bagi para eksportir untuk menjaga keberlangsungan usahanya, dengan mengizinkan eksportir menggunakan dana DHE SDA yang telah ditempatkan pada rekening khusus di bank dalam negeri untuk beberapa kebutuhan perusahan.
Pertama, para eksportir dapat menggunakan dana tersebut untuk dikonversi ke rupiah di bank yang sama untuk menjalankan kegiatan operasional dan keberlangsungan usaha.
Kedua, dana tersebut dapat digunakan dalam bentuk valuta asing (valas) untuk atas kewajiban pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan kewajiban lainnya kepada pemerintah.
Ketiga, pembayaran dividen dalam bentuk valas. Keempat, pembayaran untuk pengadaan barang dan jasa berupa bahan baku, dan bahan penolong lainnya. Kelima, dapat digunakan untuk pembayaran kembali atas pinjaman untuk pengadaan barang modal dalam bentuk valas.
“Selanjutnya, pengaturan kewajiban penempatan DHE SDA terhadap komunitas sektor pertambangan minyak dan gas bumi [migas] tetap mengacu kepada PP No. 36/2023. Ketentuan masa berlaku ditetapkan pada 1 Maret 2025,” tegas Prabowo.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)































