Persaingan Ketat
Justru, menurut Moshe, harga LNG Lapangan Abadi yang dijual nantinya harus kompetitif di pasar dunia agar bisa bersaing di tingkat global.
Untuk itu, dia menyarankan agar penambahan CCS lebih baik ditunda terlebih dahulu, meski sudah disetujui pemerintah dalam rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Blok Masela.
“Kalau saya lihat permintaan dengan CCS ini, menurut saya lebih baik ditunda dahulu, fokus ke yang ada sekarang, produksi sekarang, sehingga bisa cost effective. Harga gasnya itu bisa dipakai serendah mungkin, agar bisa bersaing di luar sana,” tambah Moshe.
Dia menjabarkan pasar LNG dunia sangat kompetitif, terutama jika Indonesia harus berhadapan dengan pemain besar seperti AS dan Qatar yang harga gasnya jauh di bawah harga gas RI.
"Mereka pakai CCS? Enggak juga. Jadi itu kan lucu kalau kita malah investasi miliaran dolar yang ujung-ujungnya masuk ke dalam biaya operasional dan itu akan masuk juga ke dalam harga gasnya. Jadi gasnya, LNG dari Indonesia, itu bisa bersaing di luar sana.”
Alih-alih menambah CCS di Blok Masela, Moshe menuturkan Inpex dapat fokus mencari pembeli LNG agar bisa segera melakukan proses investasi akhir atau final investment decision (FID) dari ladang gas raksasa di Tanimbar, Maluku itu.
“Kalau harganya enggak sesuai dengan ekonomi lapangannya ya enggak bisa juga. Kalau harga jualnya terlalu murah ya enggak ekonomis kan di lapangannya. FID juga enggak bisa tercapai. Ya itu kuncinya itu harus ada buyer-nya dahulu,” ucapnya.
Untuk diketahui, revisi PoD untuk menambahkan fasilitas tangkap-simpan karbon atau CCS di Blok Masela telah disetujui pemerintah sejak November 2023.
Dengan disetujuinya PoD baru Blok Masela yang diajukan Inpex tersebut, pemerintah berharap raksasa migas asal Jepang itu bisa mempercepat FID untuk proyek ladang gas raksasa dengan nilai estimasi sekitar US$19,8 miliar itu.
Kepala SKK Migas Djoko Siswanto mengatakan FID Inpex di Blok Masela sudah lama terlambat. Pemerintah, padahal, menargetkan keputusan investasi tersebut bisa rampung pada kuartal IV-2025 atau akhir tahun ini, nyaris dua tahun lebih awal dari target Inpex yang diumumkan medio pekan lalu.
“Nah ini molor terus, enggak niat. Kalau [Inpex] niat, seperti Eni SpA [di proyek IDD] dan Mubadala Energy [di proyek South Andaman] yang saat ini giat memasarkan gasnya,” kata Djoko kepada Bloomberg Technoz, Senin (17/2/2025).
Pemerintah melalui SKK Migas bahkan sudah mempercepat target produksi atau onstream LNG Lapangan Abadai menjadi pertengahan 2029, dari target semula pada awal 2030. “Lebih cepat lebih baik,” tutur Djoko.
Djoko menggarisbawah Inpex harus segera membuat perjanjian jual beli gas (PJBG), serta meningkatkan komitmen penjualan LNG ke PT Pupuk Indonesia (Persero) dari sekadar nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) menjadi kesepakatan transaksi awal atau head of agreement (HoA)
“Karena lenders [pemberi pinjaman] minta itu sebagai persyaratan pemberian pendanaan, sekaligus sebagai poin penting untuk bisa FID. Tanpa PJBG lapangan, tidak akan pernah dikembangkan. PJBG sebagai jaminan bahwa investasi dapat kembali,” jelas Djoko.
Akan tetapi, berbeda dengan agenda pemerintah, Inpex dalam sebuah konferensi pers di Tokyo Kamis pekan lalu justru mengumumkan FID untuk Blok Masela ditargetkan rampung pada 2027 dengan rencana produksi tetap dimulai pada awal 2030.
Presiden/CEO Inpex Co Takayuki Ueda memaparkan target tersebut sebagai bagian dari rencana bisnis perusahaan untuk tiga tahun mendatang. Dia menyebut Inpex berencana menanamkan modal US$11,7 miliar di berbagai wilayah, termasuk proyek andalannya Ichthys LNG di Australia.
Ueda melihat potensi besar dalam pengembangan bisnis LNG yang dapat mendukung transisi energi.
"Gas alam dan LNG memiliki intensitas emisi gas rumah kaca yang relatif rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya dan akan memainkan peran yang makin penting sebagai bahan bakar praktis dalam transisi energi," ujar Ueda di sela konferensi pers tersebut, dikutip melalui Reuters.
Ueda menyebut, sebagai pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) terbesar di proyek Lapangan Abadi, Inpex berencana untuk memulai desain rekayasa atau front end engineering design (FEED) awal tahun ini.
Lapangan Abadi diestimasikan memiliki puncak produksi sebesar 9,5 juta ton LNG per tahun (MTPA) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel kondensat per hari (BCPD).
Saat ini, pemegang hak partisipasi di Blok Masela adalah Inpex Masela Limited dengan porsi 65%. Tadinya, sisa 35% hak partisipasi di blok tersebut dikendalikan oleh Shell Upstream Overseas Services Ltd.
Per Juli 2023, sebanyak 35% hak Partisipasi Shell dilego ke PT Pertamina Hulu Energi Masela dan Petrolian Nasional (Petronas) Masela Berhad dengan pembagian porsi masing-masing sebesar 20% dan 15%.
(wdh)
































