BBRI lebih dulu mengumumkan rencana buyback. Perusahaan akan membeli kembali saham di pasar maksimal Rp3 triliun.
“Buyback 2025 dilakukan melalui PT Bursa Efek Indonesia maupun di luar Bursa Efek, baik secara bertahap maupun sekaligus, dan diselesaikan paling lambat 12 bulan setelah tanggal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang menyetujui buyback,” seperti dikutip dari keterbukaan informasi terkait buyback BBRI.
Saham hasil buyback kemudian akan dialihkan melalui program kepemilikan saham untuk Pekerja, Direksi, dan Dewan Komisaris. Pengalihan tersebut akan dilakukan secara bertahap hingga periode buyback berakhir.
Rencana mengenai buyback BBNI diumumkan pada Rabu lalu, (5/2/2025). BBNI akan buyback maksimal Rp905 miliar atau 10% dari total modal yang disetor.
Buyback dilakukan dengan alasan sentimen negatif pasca hasil pemilu AS pada November 2024 lalu yang memberikan tekanan pada saham BBNI dan kebanyakan saham bank lainnya.
Penurunan itu turut membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan.
Saham hasil buyback kemudian akan dialihkan melalui program kepemilikan saham bagi pegawai dan/atau program kepemilikan saham bagi Direksi dan Dewan Komisaris dilakukan sebagai penerapan kebijakan pemberian kompensasi jangka panjang berbasis kinerja dan risiko.
Momentum Beli
Pengamat pasar modal Budi Frensidy mengatakan, langkah buyback merupakan hal yang tepat. Ini bisa menjadi sedikit penyegar di tengah banyaknya sentimen negatif, terutama untuk saham perbankan.
“Jika percaya akan direalisasikan, silahkan ikut membeli di awal-awal buyback itu dilakukan,” kata Budi dikutip Senin (10/2/2025).
Setali tiga uang, Founder Stocknow.id Hendra Wardana menilai kebijakan buyback bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan pasar dan memberikan dampak positif terhadap harga saham masing-masing perusahaan.
Namun, investor disarankan untuk tetap berhati-hati melakukan analisis risiko secara mendalam sebelum mengambil keputusan investasi.
Pasalnya, kondisi ekonomi saat ini sedang penuh ketidakpastian. Para pelaku pasar juga masih cenderung memasang sikap wait and see.
“Realitas ekonomi yang dihadapi saat ini, dengan tekanan deflasi dan pendapatan yang tidak memenuhi ekspektasi, membuat banyak investor memilih pendekatan "wait and see"” kata Hendra.
(dhf)
































