Logo Bloomberg Technoz

"Kini dengan berkurangnya likuiditas di pasar, para investor memiliki ekspektasi yang lebih ketat.  Kita membutuhkan bisnis dengan unit ekonomi yang kuat, jalur menuju profitabilitas yang lebih jelas, dan harapannya, exit yang bisa terjadi lebih cepat," terangnya.  

Perubahan Mindset Investor dan Founder

Sementara itu, Founding Partner di Intudo dan Endeavor Ambassador, Patrick Yip menyatakan bahwa pergeseran ini juga membawa dampak positif bagi ekosistem startup,  meskipun tidak tanpa tantangan.

"Sebagai investor, model bisnis utama kami adalah membeli dengan harga rendah dan menjual dengan harga tinggi," ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

"Saya rasa ketika kami masuk ke pasar pada tahun 2017, saat itu adalah periode dengan valuasi yang cukup tinggi. Terus terang, dua pendanaan pertama kami dilakukan dalam kondisi valuasi yang tinggi. Namun, dengan pendanaan terbaru kami, di mana pasar telah banyak mengalami koreksi, justru ini adalah saat yang baik untuk berinvestasi," ujarnya. 

Dirinya mencermati bahwa perubahan pola pikir tidak hanya terjadi pada investor, tetapi juga pada para founder startup. 

Jika sebelumnya valuasi startup kerap didasarkan pada metrik seperti Gross Merchandise Value (GMV), kini fokusnya bergeser ke laporan laba rugi (P&L), seperti laba kotor dan EBITDA.  Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendapatan menjadi lebih penting dibandingkan sekadar mengejar valuasi tinggi.

Strategi Berbeda

Managing Director OCBC Venture, Darryl Ratulangi, menambahkan bahwa setiap investor memiliki strategi dan pendekatan yang berbeda dalam menilai startup, terlebih terhadap pendekatannya atas valuasi.

"Jadi kalau ditanya yang ngeliat valuasi ya pasti ada, tapi kan ujung-ujungnya ya s eperti tadi yang saya bilang, ya sebenarnya kita cuma beli di harga X, jual hopefully di harga 3 kali atau 5 kali. Jadi ya akhirnya tipe investornya beda-beda, ada yang demennya beli di harga 10, jual di 50. Ada yang mau beli di 100, jual di 500 gitu kan, sama-sama 5 kali," tuturnya. 

Meski demikian, ia tetap menekankan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan investor dalam memilih founder dan investasi yang tepat berdasarkan valuasi dan model bisnis yang paling sesuai dengan strategi mereka.

Berkaca pada kasus eFishery, di mana terdapat dugaan penipuan sistematis atas laporan kinerja dan pendapatan keuangan perusahaan, bahkan melibatkan pendiri sekaligus CEO Gibran Huzaifah, Tubagus Syailendra, CEO startup bidang Agrikultur, Chickin, menilai lanskap industri startup tidak lagi sama. 

Pada awalnya, pendiri sebuah startup menikmati fase honeymoon saat suku bunga global, terutama di Amerika Serikat, berada di titik rendah. Namun, dengan meningkatnya biaya dana (cost of capital), validasi terhadap nilai uang menjadi lebih ketat, kemudian, startup yang tidak memiliki dasar bisnis yang kuat kini mulai menghadapi tekanan besar.

“Kita lihat, banyak startup nggak cuma di industri kita saja, agrikultur, tapi semua startup sudah melewati fase happy-happy ketika dulu better cost of rate sangat rendah di Amerika. Kini setelah semua meningkat bahwa value of money pada akhirnya telah tervalidasi di startup. Dan beruntung Chickin itu bukan company of value,” cerita Tubagus.

(wep)

No more pages