Bloomberg Technoz, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan telah memasukan penerapan teknologi penangkapan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS) di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ke dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mengatakan penggunaan teknologi CCS di PLTU batu bara sudah bisa dimulai tahun ini.
“Jadi penggunaan carbon capture storage itu sudah bisa dimulai tahun sekarang. PLTU batu bara ditambah carbon capture, dan itu memang ada di RUKN. Regulasi kita sudah muncul," kata Eniya dikutip Jumat (31/1/2025).
Eniya menuturkan dalam RUKN tersebut juga sudah terdapat peta jalan untuk pelaksanaan CCS di PLTU batu bara. Dengan demikian Indonesia dapat tetap menggunakan PLTU batu bara dengan mengurangi emisi yang dihasilkan.
"Jadi penggunaan energi yang berdasarkan batu bara terus di carbon capture itu masuk ke dalam peta RUKN kita," ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai ketika RI ingin menerapkan CCS, pemerintah perlu menambah pembangkit eksisting sebesar 40% yang ingin dipasang CCS. Akan tetapi, hal itu akan menjadi sia-sia jika pembangkit yang digunakan berasal dari batu bara.
Senada, Celios memandang teknologi CCS/CCUS sering digembar-gemborkan sebagai solusi untuk menangkap emisi karbon dari pembangkit listrik berbasis fosil. Namun, teknologi ini belum terbukti efektif secara skala besar dan memiliki biaya implementasi yang sangat tinggi.
Di sisi lain, Global CCS Institute mencatat, dengan rata-rata biaya CCS berkisar antara US$60—US$120 per ton karbon yang ditangkap, teknologi ini tidak layak secara ekonomis untuk diterapkan luas di Indonesia.
Selain itu, banyak proyek CCS di dunia justru digunakan untuk enhanced oil recovery (EOR), yang meningkatkan produksi minyak dan pada akhirnya menghasilkan emisi tambahan.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Atina Rizqiana memandang pendekatan ini mencerminkan inkonsistensi antara upaya pemerintah dalam transisi energi dan target pengurangan emisi karbon.
“Ketergantungan pada solusi palsu seperti CCS/CCUS menunjukkan komitmen setengah hati pemerintah dalam menjalankan transisi energi yang sesungguhnya. Langkah ini tidak hanya berisiko menambah keluaran emisi [karbon], tetapi juga memperpanjang usia infrastruktur fosil yang seharusnya dipensiunkan,” tutur Atina.
Dia menambahkan, jika praktik ini dilanjutkan, solusi iklim pemerintah akan berakhir dengan kegagalan. Pemerintah malah memperburuk situasi lingkungan dengan tetap berfokus pada pengelolaan energi berbasis fosil.
Hal ini memperlihatkan bahwa komitmen lingkungan Indonesia lebih cenderung retoris ketimbang ditunjukkan dengan tindakan nyata dalam mendukung transisi energi bersih dan berkeadilan.
Pemerintah dan ExxonMobil baru-baru ini resmi menandatangani nota kesepahaman untuk rencana investasi US$10 miliar (atau setara Rp162,8 triliun) di Indonesia. Investasi ini bakal digelontorkan untuk membangun fasilitas untuk CCS dan industri petrokimia di Indonesia.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan fasilitas CCS yang diinvestasikan oleh ExxonMobil bisa mengurangi emisi CO2 sebesar 90% dan harapannya menjadi fasilitas yang beroperasi pertama kali di Indonesia.
(ain)