Akan tetapi, kata dia, penyebaran video palsu presiden, wakil presiden, dan pejabat pemerintahan yang juga berisi konten bohong akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat. Para korban cenderung tak bisa membedakan apakan konten tersebut asli atau sekadar rekayasa dengan teknologi deepfake.
"Menyebarkan informasi palsu secara berulang-ulang, maka jika hal ini terus dibiarkan akan memframing dan memanipulasi opini negatif publik terhadap pemerintahan Bapak Presiden Prabowo Subianto dan kabinetnya," ujar Himawan.
Dia juga mengatakan, polisi baru bisa menangkap satu pelaku dalam sindikat penipuan deepfake video pejabat tersebut; yaitu seorang wiraswasta asal Lampung Tengah, Lampung berinisial AMA pada 16 Januari lalu. Dia berperan menyebarkan video palsu Prabowo, Gibran, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan pejabat lainnya ke sejumlah media sosial dan aplikasi komunikasi.
Isi kontenya, para pejabat tersebut seolah menawarkan masyarakat untuk mendapat bantuan sosial. Para korban kemudian dipancing menghubungi nomor telepon AMA yang sengaja dicantumkan pada video palsu tersebut.
Setelah itu, korban yang menghubungi AMA akan diarahkan seolah harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Bahkan, sebagai syarat, para korban beberapa kali harus lebih dulu mengirimkan uang dengan dalih biaya pendaftaran hingga administrasi lainnya.
"Bisa mulai dari Rp250.000; Rp500.000; Rp700.000; sampai dengan Rp1.000.000. Tetapi ini baru dari tersangka yang satu [AMA]," kata dia.
Penyidik telah mengidentifikasi 11 orang yang menjadi korban berasal dari berbagai wilayah di antaranya Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Tenggara, dan Sulawesi Tengah.
Saat ini, Himawan mengklaim masih mencari para pelaku lain yang berada dalam sindikat yang sama. Salah satu pelaku yang sudah terdeteksi berinisial FA yang saat ini berstatus buron atau masuk daftar pencarian orang (DPO). Dalam kasus ini, FA bertugas menyiapkan video deepfake dan sejumlah proses editing sebelum disebarkan AMA di media sosial.
Dalam proses penangkapan, polisi menyita sejumlah barang bukti yaitu telepon genggam merk Oppo, KTP, dan Kartu ATM.
Menurut Himawan, AMA dijerat Pasal 51 ayat 1 jucnto Pasal 35 UU ITE yaitu tuduhan melakukan manipulasi penciptaan, pengubahan, penghilangan, pengerusakan informasi dengan tujuan agar informasi elektronik dan atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data otentik. Ancaman pidananya minimal 12 tahun dan denda maksimal Rp12 miliar.
Selain itu, AMA berpotensi juga dijerat dengan Pasal 378 KUHP yaitu tuduhan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan tipu muslihat atau pun rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya. Ancaman pidana dalam kasus ini maksimal empat tahun; atau denda paling banyak Rp500 juta.
(azr/frg)