“Tepat sebelum saya bergabung dengan GoTo, saya sebenarnya mengirim tim ke eFishery hanya untuk melakukan pengecekan karena mereka berkembang pesat, dan ini adalah kegiatan bisnis yang normal,” terang dia. Hasil laporan tim hasil semakin jelas segala sesuatunya terjadi secara sistematis. Fakta yang langsung membuat Patrick terkejut.
“Ini benar-benar memalukan, dan memalukan bagi orang-orang yang telah menjalankan eFishery,” kata Patrick pekan lalu. “Apa yang terjadi di eFishery sangat memalukan dan merusak Indonesia serta komunitas startup.”
Penting membangun fondasi sebuah startup
Model bisnis berkelanjutan semakin menjadi perhatian para investor startup, meninggalkan konsep valuasi yang pada beberapa kasus terbukti secara sengaja dilebih-lebihkan. Hal tersebut menciptakan ekspektasi tidak realistis. Ujungnya banyak perusahaan akhirnya gagal memenuhi target yang mereka tetapkan sendiri dan merugikan para investor.
“Tidak ada unsur pribadi dalam hal ini [kondisi dugaan kasus penipuan laporan keuangan eFishery], namun bagi yang memahami, ini tidak mengejutkan. Pengalaman enam tahun saya menunjukkan [adanya] valuasi yang tidak realistis,” ucap Martyn Terpilowski, investor sekaligus CEO Bhumi Varta Technology.
“Sebagian besar valuasi startup ini hanya dibuat-buat, dan orang terakhir yang memegangnya akan merugi, entah itu VC [perusahaan investasi] berikutnya atau investor ritel di IPO,” cerita Martyn saat berbincang dengan Bloomberg Technoz.
Menurut Tubagus Syailendra, CEO startup bidang Agrikultur, Chickin, lanskap industri startup tidak lagi sama. Pada awalnya, pendiri sebuah startup menikmati fase honeymoon saat suku bunga global, terutama di Amerika Serikat, berada di titik rendah.
Namun, dengan meningkatnya biaya dana (cost of capital), validasi terhadap nilai uang menjadi lebih ketat, kemudian, startup yang tidak memiliki dasar bisnis yang kuat kini mulai menghadapi tekanan besar.
“Kita lihat, banyak startup nggak cuma di industri kita saja, agrikultur, tapi semua startup sudah melewati fase happy-happy ketika dulu better cost of rate sangat rendah di Amerika. Kini setelah semua meningkat bahwa value of money pada akhirnya telah tervalidasi di startup. Dan beruntung Chickin itu bukan company of value,” cerita Tubagus.
Ia melanjutkan bahwa tantangan besar bagi startup saat ini adalah memberikan pengembalian yang sehat kepada para investor. Banyak investor yang berinvestasi di unicorn atau startup dengan valuasi besar, tetapi akhirnya kesulitan untuk keluar (exit). Alasannya, valuasi perusahaan terlalu tinggi dan tidak relevan dengan kondisi pasar.
Hal ini membuat startup kehilangan daya tarik di pasar modal, terutama bagi investor ritel. “Nah ini jadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Bagaimana kita bisa menciptakan ekosistem permodalan yg baik. sehingga semua orang bisa melihat kalau value yg di investasikan itu sesuai,” kata Tubagus.
Dengan demikian, ia menekankan pentingnya membangun narasi yang positif bagi ekosistem investasi di Indonesia. Chickin sendiri memilih untuk tidak menjadi unicorn yang mengutamakan valuasi besar tanpa memperhatikan keberlanjutan bisnis.
“Jadi sebenernya itu medium size company yang saat ini [juga] menjadi fokus banyak investor nantinya. Jadi bahwa company kita nggak unicorn, nggak besar, over valuation, tapi memberikan return yang sehat, cash flow yang positif dengan harga yang relevan. Walaupun itu hasil dari koreksi pasar yang sudah berjalan tiga hingga empat tahun belakang ini," terang dia.
Menurut dia Chickin tidak ingin menjadi perusahaan yang terjebak dalam valuasi besar tanpa memiliki dasar bisnis kokoh.
"[Valuasi Chickin] Saya lihat di bawah US$100 juta…makanya kita masih jaga banget kesehatan itu sih. Ekspektasi kita dari investor juga nggak tinggi jadinya. Kita bisa grow sehat. Karena kalau udah valuasinya terlalu tinggi-tinggi banget tuh pasti ekspektasinya besar,” jelas Tubagus.
“Saya ingat kita harus memenuhi tuntutan investor. Akhirnya kita jadinya berjibaku dengan ekspektasi. Yang mana perusahaan nggak siap, timnya nggak siap, dipaksa buat tumbuh cepat," pungkas dia.
Sebelumnya, Managing Partner of Indies Capital dan AC Ventures Pandu Sjahrir berkomentar singkat terkait fenomena valuasi startup yang terus melambung tanpa dasar bisnis yang kuat seperti yang terjadi dengan eFishery.
“Kalau soal eFishery, kemungkinan itu lebih spesifik ke internal mereka, [tapi] kami sebagai investor tentu harus lebih berhati-hati,” ucap dia, namun menolak mengelaborasi lebih jauh.
Gibran tidak merespons permintaan komentar atas berbagai tuduhan, termasuk dugaan keterlibatan kasus penyelewengan laporan kinerja dan pendapatan keuangan perusahaan hasil temuan investor.
(wep)

































