Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah semakin melemah setelah Bank Indonesia tak terduga memangkas bunga acuan, BI Rate, di tengah tren penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang seolah tak terbendung di seluruh dunia.
Rupiah yang sudah melemah, kian tak berdaya hingga sempat menyentuh Rp16.385/US$ sehari setelah BI Rate divonis turun. Pada perdagangan Jumat (17/1/2025) siang, rupiah di pasar spot diperdagangkan di kisaran Rp16.367/US$, mencerminkan pelemahan 1,62% dibandingkan posisi penutupan akhir tahun lalu.
Dengan rupiah yang terlihat tak mampu lagi bangkit meninggalkan zona Rp16.000-an/US$, benarkah level tersebut mencerminkan nilai wajar rupiah? Atau, justru sebenarnya harga wajar rupiah kini sudah di Rp17.000/US$?
Bila berkaca pada penyebab utama pelemahan mata uang yaitu fenomena strong dollar, pelemahan rupiah boleh jadi akan lebih buruk ketimbang posisi saat ini.
Sebagai perbandingan, indeks dolar AS sudah mencatat kenaikan 9,53% dari posisi terendah setahun terakhir di 100,38 yang terjadi pada 27 September lalu, ke level tertinggi sejak November 2022 yaitu di 109,95 pada 13 Januari.
Ketika itu, Pemilu AS belum digelar, belum ada 'Trump Trade" -istilah untuk menyebut perdagangan yang dihidupi oleh euforia kemenangan Donald Trump sebagai Presiden terpilih AS.
Level DXY terendah itu juga setelah Federal Reserve, bank sentral AS, memutuskan menurunkan bunga acuan untuk pertama kalinya pada 18 September, setelah menggeber pengetatan sekian lama.
Selama periode tersebut, rupiah melemah tajam yaitu dari posisi Rp15.125/US$ per 27 September ke level Rp16.275/US$ pada 13 Januari, atau merosot nilainya 7,6%. Rupiah semakin merosot hingga menyentuh Rp16.385/US$ dalam intraday trading sehari setelah BI Rate diturunkan.
Apabila mengasumsikan angka pelemahan nilai rupiah segaris dengan besar penguatan indeks dolar AS, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mungkin sudah merosot di kisaran Rp16.565/US$, sejengkal lagi dari posisi terlemah dalam sejarah setelah Reformasi 1998 yang terjadi pada 23 Maret 2020 lalu yaitu di Rp16.575/US$.

Beberapa analis asing telah merilis proyeksi nilai rupiah dalam waktu dekat, menyusul keputusan BI memangkas bunga acuan pekan ini.
Bank investasi asal Inggris, Barclays, misalnya, memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menyentuh level Rp16.500/US$ pada kuartal ini. Pelemahan diperkirakan akan makin besar sepanjang tahun hingga rupiah akan menyentuh Rp16.800/US$ pada akhir 2025.
Prediksi serupa juga keluar dari TD Securities, bank investasi global asal Kanada, yang memperkirakan rupiah akan makin merosot ke Rp16.500/US$ pada akhir Maret nanti.
Sementara itu, analisis terbaru dari para ekonom Maybank, menyebut, rupiah berpotensi makin melemah ke Rp16.800/US$ pada kuartal 1-2025 dan menembus Rp17.000/US$ pada kuartal II-2025 sebelum akhirnya naik kembali ke Rp16.500/US$ pada kuartal III dan IV tahun ini.
"Pasar kemungkinan akan tetap cemas jelang pelantikan Trump dan menunggu pengumuman kebijakan pertama setelah menjabat. Itu bisa menempatkan rupiah tetap dalam tekanan," kata analis Maybank termasuk Saktiandi Supaat dalam catatan yang dirilis setelah putusan BI rate, dilansir dari Bloomberg.

Namun, ia juga menggarisbawahi, bila kebijakan Trump ternyata tidak separah yang ditakutkan, ada potensi pembalikan arah bagi rupiah dan mata uang Asia lain, seiring dengan posisi beli dolar AS yang sudah besar.
Secara teknikal, pairing USD/IDR memiliki resistance di Rp16.500 dan Rp16.700, sedangkan support ada di Rp16.100 dan Rp15.900, sekitar DMA-200.
Sebelum keputusan penurunan BI Rate diumumkan, JPMorgan merilis prediksi arah rupiah tahun ini. Perkiraan bank investasi asal AS itu, nilai rupiah akan bergerak rata-rata di kisaran Rp16.275-Rp16.400/US$ pada 2025. Dalam kajiannya, Head of Indonesia Research & Strategy JP Morgan Henry Wibowo, memberikan dua skenario bull dan bear untuk IHSG tahun depan dengan rupiah sebagai salah satu variabel penting.
Dalam skenario bull, IHSG berpotensi menyentuh 8.400 tahun depan dengan asumsi rupiah menguat ke Rp15.000/US$ didukung oleh defisit transaksi berjalan yang lebih baik, arus masuk investasi langsung asing yang lebih baik juga ketangguhan konsumsi domestik. Skenario itu juga membutuhkan arus masuk modal asing yang pasar saham.
Sedangkan dalam skenario bear, IHSG bisa terperosok ke 6.500. Skenario itu adalah bila terjadi penurunan proyeksi pertumbuhan PDB lebih lanjut, ditambah inflasi lebih tinggi serta daya beli konsumen yang lebih lemah. "Juga, depresiasi rupiah yang cepat hingga ke Rp17.000/US$," demikian riset menyebutkan.
Sebelumnya, pada akhir tahun, Bloomberg Intelligence merilis kajian nilai wajar mata uang Asia. Nilai rupiah ketika kajian digelar yaitu pada 27 Desember di Rp16.235/US$, mencerminkan undervalued hingga 9,6%.
Menurut permodelan Behavorial Equilibrium Exchange Rate (BEER), nilai wajar pairing valuta USD/IDR adalah di kisaran Rp14.685/US$.
"Rupiah juga mengalami undervalued sebesar 11,8% dibandingkan dengan rata-rata kurs spot 10 tahun yang sebesar Rp14.317/US$. Hasil regresi menunjukkan bahwa pergerakan USD/IDR terutama didorong oleh investasi, diikuti oleh perbedaan tingkat inflasi," kata Bloomberg Intelligence Chief Asia FX and Rates Strategist Stephen Chiu dan Senior Associate Analyst Chunyu Zhang dalam kajian yang dilansir 3 Januari lalu.
Bila rupiah tercatat undervalued hampir 10% terhadap dolar AS, maka ringgit Malaysia undervalued hingga 9,5%, lalu peso 8,5%, lalu dolar Taiwan sebesar 6,7%.
Dong Vietnam juga nilainya ada di bawah angka wajar hampir 5%, rupee 4%, sementara baht di bawah harga wajar sebesar 2,3%.
Pada 2025, menurut analisis Bloomberg Intelligence, mata uang Asia kebanyakan akan jatuh melemah tertekan oleh dolar AS, terutama disetir oleh perang dagang yang digelorakan oleh Trump.
Rupiah memiliki level psikologis Rp16.500/US$ yang pernah tertembus pada saat pandemi Covid-19, tepatnya di Rp16.575/US$. Level itu akan menjadi titik krusial yang menentukan.

(rui/aji)