Pengganti PLTU
Menurut Eddy, sebetulnya sumber EBT pengganti PLTU batu bara sudah ada. Hanya saja, dana yang dibutuhkan untuk mengalihkan batu bara menjadi EBT sangat mahal.
Misalnya, untuk membangun 432 gigawatt (GW) suber EBT, termasuk 9 GW dari teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), membutuhkan biaya sekitar US$700 miliar atau Rp11,14 kuadriliun sampai dengan 2060.
“Artinya, untuk 35 tahun yang akan datang setiap tahun kita membutuhkan US$20 miliar atau Rp318,5 triliun. Dari mana dananya?,” ucap Eddy.
Untuk itu, menurutnya, Indonesia membutuhkan investor seperti lembaga keuangan hingga filantropi yang bersedia membiayai pensiun dini sejumlah PLTU di Indonesia.
Eddy mengeklaim dirinya banyak didatangi oleh sejumlah investor dari lembaga keuangan yang tertarik untuk membiayai suntik mati PLTU di Indonesia saat menjadi pemateri dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Conference of the Parties ke-29 (COP29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan.
“Saya banyak didatangi oleh lembaga keuangan yang menawarkan kita untuk bersedia membiayai beberapa [PLTU] untuk pensiun dini. Dan mereka punya datanya, 21 PLTU batu bara yang sudah tua, inefisien bahkan ada yang toksik,” tutur Eddy.
Bauran EBT
Di sisi lain, pemerintah sebelumnya menurunkan target EBT dalam bauran energi primer nasional menjadi sekitar 17%—19% pada 2025, dari sebelumnya 23%. Eddy menggarisbawahi hal itu terjadi salah satunya karena penggunaan energi fosil atau batu bara masih mendominasi.
“Gimana caranya? Ya salah satunya adalah memensiundinikan [PLTU]. Namun, kembali lagi, [hal] yang paling penting adalah kita harus mendahulukan ketahanan energinya. Jangan sampai kita mengorbankan ketahanan energi kita dengan cepat buru-buru menutup, memensiundinikan PLTU yang ada, tetapi penggantinya belum ada. Nah, itu saya kira juga harus dipertimbangkan,” ujar Eddy.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung tidak menampik, sampai dengan Agustus 2024 saja, hegemoni batu bara dalam sistem ketenagalistrikan di Tanah Air menembus 67%.
Realisasi tersebut melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang mematok penggunaan pembangkit batu bara sebesar 65,72% dalam bauran energi primer nasional.
"Dari realisasi, ternyata ketergantungan kita terhadap energi batu bara ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan target. Masih sekitar 67%," kata Yuliot dalam kegiatan Electricity Connect 2024, akhir November.
Di sisi lain, realisasi bauran energi primer dari gas hingga Agustus mencapai 17% dari target APBN 17,72%; panas bumi 5% dari target 5,33%; air 7% dari target 6,88%; biomassa belum terealisasi dari target 1,02%; BBM (+BBN) 4% dari target 3,06%; dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya 0% dari target 0,25%.
“Ya tentu dalam rangka bagaimana kita mengurangi emisi, khususnya emisi rumah kaca, kita mengharapkan ke depan untuk bauran energi ini bisa kita lakukan penyesuaian. Dengan demikian, mayoritas energi baru terbarukan itu bisa disediakan,” tutur Yuliot.
(mfd/wdh)
































