Bloomberg Technoz, Jakarta – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan perusahaan sektor minyak dan gas bumi (migas) justru kembali untuk berinvestasi pada eksplorasi, di tengah adanya bayangan nasib suram minyak dunia.
Eddy mengatakan tren tersebut muncul karena internal rate of return (IRR) atau besarnya tingkat pengembalian modal yang digunakan dalam menjalankan suatu usaha dari sektor energi baru dan terbarukan (EBT) tergolong rendah, yakni maksimal 14%.
“Dana untuk migas memang tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya, tetapi sekarang ada tren baru di mana investor yang sekarang melihat investasi di sektor energi terbarukan itu mulai mengalihkan dana kembali ke sektor eksplorasi migas,” ujar Eddy dalam agenda Leaders Forum, dikutip Kamis (12/9/2024).
Namun, Indonesia memiliki tantangan karena eksplorasi harus dilakukan pada blok migas baru karena yang sudah ada (existing) sudah berumur atau mature.
Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus memiliki regulasi dan insentif yang mendukung eksplorasi pada blok baru tersebut.

“Sekarang ada 11 isu di sektor migas yang perlu diselesaikan, [menjadi] 12 dengan fiskal insentif. Nah kalau ini bisa ditata dari regulasi itu, ada percepatan, bisa ada pembenahan, saya kira akan ada investasi tambahan yang signifikan untuk eksplorasi baru,” ujarnya.
Tidak Ada Duit
Di lain sisi, Eddy mengatakan investor di hulu migas saat ini tengah berhadapan dengan penambahan beban fiskal yang menyebabkan tidak memiliki anggaran yang cukup.
Hal tersebut terjadi karena perusahaan migas dilarang untuk melakukan investasi pada sektor fosil bila tidak diimbangi dengan sektor EBT.
“Jadi sekarang yang namanya Chevron, Total [Energies] dan lain-lain itu bukan oil and gas company, mereka adalah energy company. Isu yang diutamakan dan dikedepankan selalu adalah masalah energi terbarukan, bukan masalah migasnya, begitu juga Pertamina,” ujarnya.
“Saya percaya yang namanya pengembangan energi terbarukan, pengembangan energi fosil itu harus berjalan beriringan. Tidak bisa saling menihilkan satu sama lain.”
Di tingkat global, para trader komoditas terkemuka dunia tengah berjuang menghadapi kondisi yang lebih sulit untuk memperdagangkan minyak karena peristiwa pasar seismik beberapa tahun terakhir mulai kehilangan momentumnya.
Perlambatan ini dirasakan di mana-mana, mulai dari perusahaan seperti Glencore Plc dan Gunvor Group — yang labanya turun — hingga bos dana lindung nilai Pierre Andurand, yang meninggalkan perdagangan minyak untuk bertaruh pada tembaga dan kakao.
Meskipun para raksasa komoditas global masih untung, kinerja mereka tidak lagi menorehkan capaian yang luar biasa sejak 2020.
Sejauh ini pada 2024, perubahan harga jauh lebih tenang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, bahkan saat harga minyak mentah anjlok hingga US$70 per barel.
Harga minyak mentah berjangka Brent — untuk saat ini — menuju kisaran harga tahunan terkecil sejak 2004, sementara tolok ukur volatilitas pasar menyentuh titik terendah dalam hampir satu dekade awal tahun ini.
Perlambatan ekonomi China, pergeseran struktural dalam bauran energi global, dan prospek pasokan minyak mentah tambahan semuanya membebani kilang dan produsen minyak. Margin pemrosesan telah jatuh.
Para pedagang minyak makin muram karena turbulensi pandemi dan bulan-bulan setelah invasi Rusia ke Ukraina — peristiwa yang terjadi sekali dalam satu generasi — telah digantikan oleh volatilitas rendah.
Ribuan eksekutif minyak, dana lindung nilai, dan investor yang berkumpul untuk Konferensi Perminyakan Asia Pasifik (APPEC) akan menghadapi kenyataan suram yang telah memaksa analis Wall Street untuk merevisi perkiraan harga dan permintaan minyak dunia.
(dov/wdh)